Sumbartime-Akhir akhir ini kami sering didatangi seorang oknum wartawan yang begitu getol mencari cari salah kami dan para Kepala Dinas. Istilah awak wartawan “tukang cukia”.
Biasanya wartawan tipe ini adalah wartawan ingin “disapo”. Masalahnya zaman sudah mulai berubah. Kami Kepala daerah dituntut untuk berubah dan itu merupakan konsekuensi dari reformasi dan demokratisasi di Republik ini.
Mindset wartawan ini ternyata masih mind set lama yg dalam pikirannya pasti “disapo” Wako. Dalam mind set lama ini wartawan yang bersanmgkutan melihat Wako bisa dijadikan “kapa gulo” karena sudah menjadi rahasia umum bahwa Kepala daerah pasti cari duit dengan memproyekkan semua anggaran dengan sekian persen unutk dia.
Ini memang kejadian selama ini terutama bagi kepala daerah yang biaya Pilkadanya besar. Lah kita biaya Pilkada ala kadar saja, jadi ndak perlu dikembalikan. Di sinilah media online oknum wartawan itu kecele. Dia pikir kita Wako cari duit untuk tujuh turunan. Padahal saya lebih senang tidak jadi Wako sebab saya lebih miskin akibat menjabat Wako.
Bagaimana tidak miskin kalo gaji kepala daerah tidak pernah naik sejak tahun 2000 dan kita juga tidak main proyek karena memang kami takut dan tidak mau. Apalagi sistem tender dan sistem pengawasan sudah berjalan dan berbasis komputer. Tender tidak bisa lagi datur dan siapapun berhak ikut asal memenuhi syarat.
Jadi salah kalau minta proyek ke pak walikota. KPK juga selalu mengawasi. Namun wartawan ini kadang memang hobby nya “tukang cukia”. Hobby ini memang tidak dia saja bahkan tv berita ada yg cari uang dg gaya begini, sementara pemiliknya lagaknya seperti para reformis sejati dg berpidato kadang berapi api untuk memajukan Indonesia katanya.
Tipe munafikun sejati, samalah dengan oknum wartawan “tukang cukia” tadi. Sementara itu, Kepala PU kami sering dimaki orang. Tapi kadang aneh memang, dia menjalankan tugasnya degan benar malah dimaki.
Contohnya ketika ada Developer minta ijin kemudian karena syaratnya tidak lengkap terus dikembalikan. Terus umpatannya ini kantor perizinan satu pintu banyak jendela. Padahal dia sudah melanggar dulu sebelum minta ijin, atau lebih jelasnya sudah membangun degan spek yg salah baru minta ijin.
Membangun duluan dan spek yg salah bagaimana memberi ijin IMB nya. Padahal ngakunya tokoh, pernah dikenal pula namanya di baliho dan spanduk di seantaro Payakumbuh.
Contoh lainnya kemarin kepala PU terima pengajuan ijin tata ruang sebuah bangunan. Kemudian dia dikasih uang segepok agar diberi ijin dan dipercepat. Katanya untuk Wako dan Kepala PU. Namun Kepala PU menolak dengan sopan karena saya perintahkan demikian.
Dikira oleh yg mengajukan ijin kita menunda ijin karena minta duit padahal lokasi ijinnya adalah penimbunan sawah irigasi yang perlu ada solusi agar tidak melanggar UU tentang konservasi lahan pertanian berkelanjutan.
Padahal kantor izin kita sudah jelas prosedur dan syaratnya. Tidak ada yg tidak jelas, terukur semua dan bahkan bisa ditunggu kalau lengkap. Mental begini bagaimana mau revolusi mental.
Kita jadi tersenyum saja dan kemudian datang sang oknum wartawan yang ngakunya orang Koto Nan Gadang kampung saya, dan umbar kata punya saudara kerja di KPK. Ini contoh yang tidak baik, kata orang “tungkek nan mambaok rabah”.
Sudah sering dia “mancukia” Pemda tapi semua beritanya bohong atau paling tidak framing nya bohong. Contoh terakhir mengatakan pekerjaan di PU tidak sesuai bestek. Padahal yang jelas besinya sudah SNI dan sesuai speknya dan coran semennya wajib ready mix dg sertifikat ISO dan itu jarang ada kebijakan begini di tempat lain.
Inilah seriusnya kita menjaga kualitas pekerjaan krn dulu pernah ada yg main main dg besi dan campuran semennya. Tapi nampaknya wartawan ini salah alamat “mancukia”. Demikian juga ketika dia mengatakan bahwa orang dekat saya main proyek, padahal saya larang.
Kasus ini saat penyorotan rumah sakit. Katanya orang dekat saya punya jagoan proyek padahal dia (orang dekat) nggak kenal dengan kontraktornya. Arahan saya pada kepala Rumah Sakit dan Dinas terkait agar dipilih alat yg berkualitas sehingga jangan sampai alat yg gunanya untuk mengobati orang sakit justru sering rusak karena tidak berkualitas. Jangan sampai kita repot nanti “mengobat” alat padahal dia diadakan utk mengobati si sakit.
Saya lihat dan menduga ada indikasi konsultan bermain dengan vendor jagoàn si oknum wartawan yang menyorot walaupun sulit untuk dibuktikan. Dengan demikian kami langsung bersikap tegas. Itu sederhana.
Mungkin oknum tadi terima order berita dari vendor yg tidak senang dengan kebijakan ini. Dan yang pasti, tak satu perak pun kami terima duit dengan mereka yang disebutkan di atas. Jadi mulai sekarang berhati hatilah kita bicara revolusi mental kalau tidak dianggap munafik.
Di lain sisi, kita perlu mengapresiasi kerja banyak wartawan lainnya di Kota ini. Masih banyak dengan cara cara terhormat mereka bekerja. Tanpa para wartawan tentu kami juga kesulitan menyampaikan rencana kerja dan rencana kegiatan.
Kami menyadari, sebagai orang politik tentu butuh publikasi yang baik dan itu tidak mungkin tanpa kerja jurnalistik. Untuk itu kami apresiasi sekali dan mengucapkan terimakasih.
Namun ternyata masih ada yg belum move on. Kerja masih degan gaya “tukang cukia”. Kritik boleh saja tapi objektif. Kita tidak anti kritik tapi asal ngomong tanpa bukti yg jelas tentu kami juga bisa meminta aparat bertindak atas pencemaran nama baik.**
@ Penulis adalah Walikota Payakumbuh.
# Kami melakukan beberapa editing tanpa mengurangi arti, makna serta maksud tujuan (Redaksi)