Menyambut puncak Payakumbuh Botuang Festival yang dihelat pada 1-2 Desember mendatang, Minangapentagong siapkan 4 repetoar musik etnik yang berkolaborasi dengan Orkestra Simfoni Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. Hal ini disampaikan Nurkholis, salah seorang pentolan Minangapentagong saat melakukan gladi resik di Panorama Ampangan, Kamis 30 November 2017.
Nurkholis mengatakan Minangapentagong didukung oleh Orkestra Simfoni ISI Padangpanjang dan akan menampilkan 4 repertoar yaitu The Malay Suite; Bagian 1 yang akan dikolaborasikan dengan puisi yang dinyanyikan. Gagasan karya ini menggunakan gaya musik film dengan tekstur musik yang naratif. Tema musik diolah berdasarkan tangga nada pentatonik.Kemudian Talipuak Kampai adalah salah satu repertoar talempong Sikatuntung yang akan diiringi musik orkestra.
“Musik ketiga Bhante dimana dalam karya ini instrumen bansi, sarunai, dan sulim dijadikan sebagai solis dan keempat The Malay Suite: Bag. 2 dan karya ini tentang ritus dari suku-suku pedalaman di Indonesia. Instrumen saluang, bansi, dan sulim dijadikan solis,” kata Nurkholis.
Ia menjelaskan dalam musik yang dimainkannya berasal dari beni-benih pemikiran atas musik tradisi Minangkabau dan modern yang terbuka sejak tahun 1998 atau masa reformasi. Kemudian ia mengembangkan gagasan penciptaan musik kontemporer berakar dari musik tradisi seperti Serialisme, Elektro-Akustik, dan music mix-media dengan menggunakan bentuk simfoni, konserto, suita, sonata, overture, minuet, rondo, kantata, balada, dan madrigal.
“Nah, dari pemahaman dan penguasaan saya terhadap kaidah-kaidah musik klasik tersebut, maka saya mulai menerapkan gagasan penciptaan dengan menggunakan piranti musikal tradisi Minangkabau, seperti: keunikan dendang Darek dan Pesisiran, ornamentatif melodi Saluang, Rabab, Salawat Dulang, Talempong, dan pola-pola perkusi Minang,” ujarnya.
Dalam menghasilkan musik ia mencoba mengidentifikasikan tekstur melodi, tangga-nada yang digunakan, aksen-aksen atau frasa nyanyiannya, motif-motifnya, ornamen lagu, kekuatan liriknya, dan juga karakter instrumentasi pengiring dendang. Kemudian membuat eksperimen musikal di labor musik, seperti memainkannya kembali melalui instrumen piano.
“Hal itu, berguna untuk menemukan ide-ide baru yang lebih segar, baru, dan inspiratif, sekalian mencatatnya ke dalam notasi partitur. Tahapan akhir adalah kerja orkestrasi, yakni menyalin ulang kembali partitur piano (condenscore) tersebut ke instrumensi orkestra. Semua komposer orkestra wajib memahami batasan nada (range) instrumen yang digunakan, pun juga karakter suaranya, seperti: flute, oboe, klarinet, fagot (wood-wind); trumpet, horn, trombone, tuba (brass); drum, timpani, triangle, cabasa, marimba, vibraphone (percussion); violin, viola, cello, kontra bass (string),” katanya.
Minangapentagong sendiri menurutnya adalah suatu cita-cita bersama mengangkat kekayaan lokalitas musik tradisi Minang melalui World Music ke penikmat musik dunia. Meskipun terdengar muluk, tapi ia bersama kawan-kawannya yakin bahwa niat dan upaya tersebut pasti akan sampai ke sasarannya.
“Dalam kolaborasi musik tradisi ke dalam penggarapan orkestra dan music jazz, Saya mulai mengelaborasikan palayaran bansi ke dalam sepektrum akor-akor jazz yang luas. Saya tidak memaksakan permainan instrumen bansi mengikuti pola-pola improvisasi saksofon dan hanya mengikuti alur melodi tradisi tersebut dengan cara membuat alternatif akor-akor disonan, seperti; mencampurkan progresi melodi tonal dan modaliti secara berkesinambungan. Sehingga karakter improvisasi pemain bansi tetap meliuk-liuk dan khas dengan keunikan tradisinya,” kata Nurkholis.
Artinya, ia tidak melakukan ‘paksaan’ musikal tertentu yang menghegemoni. Demikian juga ketika dirinya mengolah pola-pola ritme Tambua, dimana memadukannya dengan pola-pola musik latin, seperti; musik samba, salsa, dan ritme-ritme Afrika.
“Uniknya, saya juga mengembangkan nyanyian-nyanyian tradisi Sijobang, Sirompak, dan Sampelong dalam intensitas ratapan musik blues sehingga sangat kaya rasa (taste) Minangkabau dan aroma jazz. Perjalanan musikal saya melalui musik jazz tersebut, akhirnya menghantarkan saya ikut ke ajang jazz lainnya, seperti; Riau Hitam-Putih World Music Festival, Sawahlunto International Music Festival, Java Jazz Festival,” ujar Nurkholis usai gladi resik di Payakumbuh.
Ia berharap dengan musik orkestra dan jazz yang dimainkannya dapat disampaikan kepada masyarakat dunia bahwa idiom musik tradisi di Indonesia, khususnya Minangkabau, pada dasarnya memiliki ragam keunikan, dan berpotensi besar untuk digagas ulang ke dalam musik orkestra dan musik jazz. Sehingga menurutnya masyarakat mesti membuka diri seluas-luasnya terhadap musik apa pun dan yang datang dari mana pun juga.
“Apalagi saat ini informasi perkembangan musik terbaru, begitu cepat dan mudah didapatkan lewat streaming media. Kita bisa klik salah satu situs musik di youtube, misalnya world music, maka kita akan disuguhkan juga dengan pilihan-pilihan lainnya yang beragam dan kita lihat kiat-kiat komposer membuat tawaran musiknya. Pasti mereka sudah masuk ke dalam gagasan ‘baru’ memadukan karakter musik etnis mereka dengan musik jazz,” katanya.(aa/rel)