SUMBARTIME.COM-Kuil itu terletak di ujung sebuah taman yang cukup luas. Perlahan dia membelok ke kanan dari jalan Shimoga-hon. Kemudian berbelok ke kiri melintasi taman pepohonan yang rimbun. Seratus meter berbelok ke kiri. Dan tiba-tiba kakinya telah menginjak altar Kuil Shimogamo! Dan dia terhenti di ujung altar.
Puluhan pendeta berkepala botak kelihatan sedang berlatih beladiri. Ada yang berlatih dengan pentungan kayu sepanjang satu setengah depa.
Ada yang berlatih karate. Ada yang berlatih samurai. Dia tak kaget. Sebab dia telah diberitahu tentang kuil ini. Dan hampir di seluruh kuil di Jepang atau Tiongkok kepada para pendetanya memang diajarkan berbagai jenis beladiri.
Hal ini sudah menjadi tradisi bagi kuil-kuil tersebut. Tujuan utamanya di zaman dahulu kala adalah menghadapi musuh yang selalu saja ingin menguasai sebuah kuil. Menyebarkan agama, seperti halnya di Indonesia, selalau mendapat tantangan. Maka kalau di Indonesia para malin, terutama di Minangkabau biasanya adalah pesilat-pesilat tangguh, maka di Jepang mereka umumnya adalah Karateka atau samurai yang tangguh pula.
Hanya saja kini kegunaan pelajaran beladiri itu sudah jauh berbeda. Tidak lagi untuk menghadapi musuh. Tapi untuk kesehatan. Jadi fungsinya sudah bertukar jadi olahraga! “Maafkan, bisa saya bantu?” sebuah suara ramah menyadarkan si Bungsu yang masih tegak diam diujung altar kuil itu.
Kuil itu besar, bersih dan anggun. Dia menoleh. Seorang pendeta berjubah merah berkepala botak dan berwajah ramah, tegak disisinya.
“Apa yang bisa saya bantu?” ulang pendeta itu lembut.
“Oh..ya…. saya ingin bertemu dengan Obosan….dapatkah dia menerima kedatangan saya? Obosan adalah kepala pendeta. Pendeta itu menatapnya dengan sinar mata yang lembut. Dia tak bertanya sedikitpun darimana orang ini datang, dan ada urusan apa kedatangannya. Itu adalah urusan pribdai. Dan kuil tak ada hak mencampuri urusan pribadi orang.
Lagipula setiap orang yang berkunjung ke kuil haruslah dihormati.
“Akan saya sampaikan. Mari ikut saya….” Si Bungsu membungkuk memberi hormat. Kemudian mereka berjalan lewat pendeta-pendeta yang tengah latihan itu. Menuju ke ruang tunggu kuil Shimogamo tersebut. Dari altar, mereka menaiki anak tangga yang jumlahnya sembilan buah. Lalu mereka melewati sebuah ruangan yang bersih dari marmar.
Ruang itu tak berdinding. Hanya bertiang besar-besar. Ada sepuluh meter persegi luasnya. Kemudian dia di bawa turun. Ruang ini tak ada kursi. Tapi bersihnya bukan main. “Haraplah menanti disini…” kata pendeta itu. Si Bungsu mengangguk. Dan dia segera saja duduk berlutut di lantai.
Pendeta tadi menuju ke ruang tengah yang pintunya tertutup dari balik pintu terdengar suara berguman perlahan.
Pastilah tengah berlangsung upacara agama di ruang sebelah itu. Dari luar sayup-sayup terdengar suara-suara orang latihan beladiri. Seorang gadis lewat di samping si Bungsu. melihat pintu tertutup, gadis itu tegak tak berapa jauh dari tempat si Bungsu berlutut. Kemudian gadis itu juga berlutut. Dia menaruh sebuah keranjang yang nampak berisi makanan di sisinya.
Sepintas si Bungsu menoleh padanya. Gadis itu kebetulan juga tengah menoleh padanya. “Bungsu-san…” seru gadis itu. Wajahnya berseri.
“Michiko….” Kata si Bungsu tertahan. Ya, gadis itu adalah Michiko. Dia memakai kimono berwarna putih salju dengan bunga-bunga sakura berwarna merah jambu tergambar di kimononya itu. Di punggungnya dia memakai Obi, semacam stagen.
Dan dikepalanya yang berambut hitam ikal dia memakai Kanzashi berbunga. Yaitu semacam sanggul khas Jepang. Gadis itu segera saja bangkit. Membawa keranjang kecilnya dan dengan wajah berseri duduk berjongkok di sebelah kiri sisi si Bungsu. “Aaa, saya hampir-hampir tak mengenal Bungsu-san dalam pakaian begini. Bungsu-san persis seperti seorang samurai yang siap bertempur. Gagah dan perkasa”
Michiko berkata sambil menatap si Bungsu yang memegang samurai itu.
Si Bungsu juga balas menatap kagum pada gadis cantik itu. “Engkau benar-benar gadis yang cantik Michiko-san…” katanya perlahan. Wajah Michiko bersemu merah. Matanya bersinar menatap si Bungsu. “Ada keperluan apa Bungsu-san kemari?” tanyanya. Dan pertanyaan itu belum terjawab, ketika pintu yang dimasuki pendeta tadi terbuka.
“Dengan segala senang hati, Obosan menanti kedatangan anda…” kata pendeta itu. “Bungsu-san….engkau akan bertemu dengan Obosan…?” Michiko bertanya dengan heran. “Ya, maafkan saya harus pergi….” Jawabnya sambil berdiri. “Nona Michiko….” Pendeta yang menyilahkan si Bungsu masuk itu menegur Michiko dengan gembira. “Selamat pagi pak…” sapa Michiko ramah.
Sementara itu pintu ruangan terbuka lebar. Si Bungsu melangkah. Tegak di ambang pintu. Dan dalam ruangan upacara itu, tegak sekitar enam belas lelaki berjubah kuning berkepala botak. Tegak berbaris di dua sisi.
Persis di ujung kedua barisan itu, dekat altar pemujaan, tegak seorang pendeta bertubuh tinggi gagah dan anggun dalam jubah merah. Dia tegak menatap pada si Bungsu.
Si Bungsu tegak mengangkang di pintu menatap kepala pendeta yang tegak gagah dan berwajah ramah itu. “selamat datang di kuil Shimogamo, anak muda. Saya dengar engkau datang dari jauh. Mari silakan masuk….” Obosan (kepala pendeta) itu berkata dengan ramah. Di telinga si Bungsu, suaranya yang ramah itu seperti datang dari liang lahat.
Seperti suara cangkul menggali pusara. Seperti suara gonggong anjing di tengah malam. Dia tak beranjak dari tempatnya tegak. “Silahkan masuk, kuil ini terbuka buat semua orang. Ada yang bisa saya bantu…?” Tanya Obosan itu. Suaranya masih ramah. Sementara keenam belas pendetanya menatap diam dari tempat mereka tegak.
“Terimakasih. Saya mencari seorang lelaki, bekas balatentara Dai Nippon. Bernama Saburo Matsuyama. Ada lelaki itu disini?” Suara si Bungsu bergema. Semua orang jadi terdiam mendengar suara yang alangkah dinginnya itu. Seperti suara yang datang dari guha yang sunyi.
Mengandung misteri dan mengandung suara bahaya.
Dia menatap kepala pendeta itu tepat-tepat dalam jarak dua puluh depa dari tempatnya tegak. “Siapa anda, anak muda?” Obosan itu. Masih ramah dan lembut suaranya. “Saya orang Indonesia…” jawabnya dingin.
“Saya banyak mengenal banyak teman-teman dari Indonesia. Apa yang dapat saya bantu?” pendeta itu masih bicara perlahan dari tempatnya tegak.
“Anda banyak teman, yaitu penghianat di negeri kami. Anda masih kenal saya, Saburo?” Pertanyaan itu saja sudah membuat kaget seluruh pendeta yang ada disana. Michiko yang juga kaget luar biasa atas percakapan itu melangkah, dan tegak tiga depa di belakang si Bungsu. “Maafkan, terlalu lama zaman saya lalui. Sehingga saya tak bisa mengingat semua teman dan kenalan…” suara Obosan itu terdengar lagi.
Si Bungsu membuka kimononya. Dan pinggang ke atas tiba-tiba terbuka.
Michiko yang ada di belakang terpekik melihat beberapa sayatan memanjang di punggung anak muda itu. Sementara yang tegak di depannya yaitu para pendeta itu, juga tertegun melihat bekas-bekas sayatan di dada anak muda asing ini. Si Bungsu membelakang. Memperlihatkan punggungnya pada Saburo.
“Suatu hari di Minangkabau, di desa Situjuh Ladang Laweh, di kaki Gunung Sago Kabupaten 50 Kota, anda membunuh seorang lelaki bernama Datuk Berbangsa. Membunuh isterinya. Memperkosa anak gadisnya. Dan melukai anak lelakinya. Mereka adalah ayah, ibu dan kakakku! Dan anak lelaki yang engkau kira mati oleh samuraimu itu, kini ada dihadapanmu!”
Kalau saja ada petir menyambar, barangkali kepala pendeta itu, terlebih lagi para pendeta dan Michiko, mungkinn takkan terkejut mendengarnya.
Namun ucapan anak muda ini melebihi seribu petir di pagi itu. Michiko terpekik! “Ayaah….!” Katanya. Dan dia jatuh berlutut di atas lantai!
Si Bungsu kaget dan menoleh ke belakang. Obosan itu juga kaget. Dan barulah kini dia melihat bahwa di belakang anak muda itu ada Michiko, anaknya!
“Michiko…..” Kepala pendeta yang tak lain dari Saburo Matsuyama itu berseru. Suaranya terdengar getir. Dan di ujung sana, Michiko terduduk, dia menangis. Saburo jelas sekali terpukul bathinnya. Bertahun-tahun dia menyembunyikan diri dari kekejamannya selama perang. Dia selalu bercerita yang baik-baik pada anak gadisnya.
“Kenapa ayah berhenti jadi tentara?” begitu Michiko bertanya ketika dia pulang setelah dipecat dari dinas ketentaraan oleh Jenderal Fujiyama di Bukittinggi dulu. “Perang sangat kejam nak. Ayah tak bisa membunuh orang terus-terusan. Ayah berhenti di Filipina…” katanya berbohong.
Ya, dia hanya setahun di Indonesia. Dia tak ingin pengalaman pahitnya di Indonesia diungkit. Dia mengatakan pada anaknya bahwa dia hanya bertugas di Filipina.
Dan Saburo Matsuyama ternyata memang menyesali segala perbuatannya selama perang. Dia memtutuskan untuk jadi pendeta.
Siapa nyana… ternyata ada orang yang mencarinya kembali untuk urusan balas dendam. Yang tak kalah kagetnya adalah si Bungsu. dia heran kepada siapa Michiko memanggil ayah tadi? Dan begitu Saburo menyebut Michiko… maka tahulah dia, ayah si gadis itu adalah Saburo!
Ya Tuhan, alangkah banyaknya hal yang tak bisa terduga oleh manusia!
Dan tiba-tiba saja semua dikejutkan oleh perbuatan Michiko. Tangan gadis itu cepat menjangkau ke dalam keranjang kecil yang dia bawa. Dari dalamnya dia menghunus sebilah samurai kecil. Dan samurai itu dia hunjamkan ke jantungnya!!
“Michikooooooo!” Saburo Matsuyama berteriak histeris melihat kenekatan anaknya itu. Namun suatu keajaiban terjadi. Sebenarnya bukan keajaiban. Tapi suatu kecepatan yang luar biasa. Si Bungsu yang tegak tiga depa dari Michiko. Adalah orang pertama yang dapat melihat gerak tangan gadis itu. Dia melihat sesuatu yang mengkilap di tangannya yang ke luar dari keranjang kecil itu.
Dan tangan gadis itu menghujamkan ke dadanya. Nalurinya yang amat sensitif, yang dia bawa dari Gunung Sago, segera mengirimkan isyarat bahaya. Dan dengan gerak yang hanya berdasarkan nalurinya saja, samurainya tersebut, dan dalam sebuah gulingan di lantai, dalam jurus Lompat Tupai, samurainya bekerja. Samurai kecil di tangan Michiko kena dihantam samurainya. Samurai kecil itu terpental. Menancap di loteng kuil!
Michiko kaget. Semua pendeta juga kaget melihat kecepatan anak muda ini.
Michiko menatap si Bungsu. dan tiba-tiba dia memeluk anak muda itu!.
”Bungsu-san…..kenapa harus jadi begini?” isaknya.
Sementara itu Saburo sampai di sana.
“Michiko-san….” Katanya perlahan.
Gadis itu menoleh pada ayahnya. Dan tiba-tiba dia berlari ke pelukan si ayah. “Ayah, dialah pemuda yang kuceritakan itu. Dialah yang dua kali menyelamatkan nyawaku. Dialah yang…..yang…oh Tuhan….oh Tuhan….mengapa harus jadi begini. Biarlah aku mati…..biarlah aku mati ayah…..” Gadis itu hampir-hampir histeris!
Saburo jadi kaget mendengar ucapan anaknya. Para pendeta yang semuanya juga telah mendengar cerita itu dari Saburo, juga jadi kaget.
Saburo menatap si Bungsu. kedua musuh berbuyutan ini saling pandang.
Dan kedua sama-sama terkejutnya mendapatkan kenyataan ini. Betapa tidak, si Bungsu yang telah menolong Michiko sejak dari Tokyo, telah begitu akrab dengan gadis itu, yang secara jujur harus dia akui bahwa dia jatuh hati padanya.
Ternyata gadis itu adalah anak musuh besarnya. Anak dari seorang lelaki yang telah menista dan memusnahkan keluarganya. Seorang fasis yang telah merejam dan menista negerinya. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkuknya sendiri menerima kenyataan pahit ini. Saburo Matsuyama demikian pula. Dia telah “cuci tangan” dari urusan-urusan duniawi. Dia ingin mencuci dosa yang dia perbuat selama perang dengan menjadi seorang pendeta.
Keyakinan, amal saleh dan kedermawanannya menyebabkan dia diangkat oleh dewan pendeta menjadi Kepala Pendeta di kuil Shimogamoini. Yaitu salah satu diantara tak banyak kuil yang berpengaruh tidak hanya di Kyoto, tetapi juga di kawasan Jepang bahagian Selatan! Dua hari yang lalu dia demikian bahagia menerima kepulangan puteri tunggalnya dari Tokyo. Dia terkejut mendengar bencana yang hampir menimpa anaknya.
Dia sangat berterimakasih atas bantuan pemuda yang belum dikenal itu.
Dia ingin mengadakan doa selamatan atas terhindarnya Michiko dari bencana tersebut. Dan dia telah merencanakan untuk datang hari ini selesai dia memimpin upacara keagamaan ke hotel anak muda itu.
Michiko berkata bahwa anak muda yang menolongnya itu berasal dari Indonesia.
Tak sedikitpun hatinya berdetak, bahwa anak muda yang menolong anaknya itu adalah si Bungsu yang mencarinya untuk membalas dendam.
Dan kini dia dihadapkan pada kenyataan yang alangkah pahitnya ini. Dia melepaskan pelukan anaknya. Maju dua langkah ke hadapan si Bungsu yang tegak memegang samurainya dengan wajah dingin. Saburo berlutut di lantai. Membungkuk dalam-dalam. Kemudian terdengar suaranya bergetar.
“Bungsu-san, terimakasih banyak atas pertolonganmu pada anak saya. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu. Saya tahu betapa pedihnya dendam yang kau simpan selama bertahun-tahun. Kini, saya akan menerima pembalasanmu. Bertahun-tahun saya menghindar dari rasa takut atas dosa yang saya perbuat.
Tapi akhirnya Tuhan menunjukkan bahwa cepat atau lembat pembalasan atas dosa yang diperbuat manusia atas manusia lain, pasti akan dibalaskan. Saya terima apapun pembalasan yang kau lakukan padaku…”
Si Bungsu maju setindak dan mencabut samurainya. Dan tindakan inilah yang mendatangkan bencana yang tak terhindarkan di kuil Shimogamo itu. Dia maju mencabut samurainya tidak dengan maksud menebas leher Saburo yang menunduk itu. Dia ingin menancapkan samurai itu lantai dihadapan lelaki itu.
Dan setelah ditancapkan, dia ingin berkata: “Kau lihatlah samurai ini Saburo. Putih berkilat, tapi berlumur darah dan berbau maut. Dengan samurai ini dahulu keluargaku kau habisi nyawanya, kini dengan samurai ini pula aku menuntut balas….!” Itulah yang ingin dia perbuat dan ucapkan. Tapi para pendeta yang enam belas orang itu, yang berkumpul di sekeliling si Bungsu, menyangka bahwa dia akan menghentakkan ujung samurainya ke tengkuk Obosan mereka.
Karena berfikir demikian, maka wajar saja mereka turun tangan membela. Dua orang diantaranya, yang tegak dekat sebuah kursi, segera menyambar kursi itu dan menghantamkannya pada si Bungsu. Anak muda ini mendengar desir angin kursi yang dihantamkan itu. Dan dia tahu bahwa dia diserang dari belakang.
Dia berbalik dengan cepat. Tangannya yang memegang samurai terhunus itu bekerja cepat sekali. Kursi yang terbuat dari kayu keras itu putus seperti batang pisang. Patahannya beserpihan. Bersambung>>>