Oleh : Hendra Triwarman
Sumbartime.com,- Pilkada merupakan wujud dari proses mengdialogkan: penetapan-pengingkaran dan pengingkaran dari pengingkaran. Penetapan yang merupakan visi pribadi yang akan dingkari oleh visi pribadi-pribadi yang lain akan melahirkan sebuah penetapan. Wujud dari penetapan akan terpilihnya seorang prabu yang lahir dari pertimbangan masyarakat atas Visi-nya yang merupakan sebuah penetapan/sintesa sebelum munculnya pengingkaran baru.
Idealnya pesta demokrasi adalah ajang adu pikiran dan gagasan/ide. Strategi politik adalah bagian instrumen lain dari konsep ideal tersebut. Ibarat sebuah kendaraan, strategi politik adalah kendaraan dan konsep idealnya adalah penumpangnya.
Konsep ril yang ada dalam sebagian besar masyarakat yang masih terbelenggu oleh kemiskinan dan kebodohan, konsep ideal tidak menjadi bagian penting memenangkan pilkada. Alasan menang untuk kontestan menjadi sangat sederhana.
Cukup menyiapkan logistik yang banyak dan memberikan janji-janji politik yang mereka bungkus dalam bentuk visi-misi dalam propaganda mereka. Propaganda yang sudah disiapkan oleh konsultan politik yang mereka bayar. Kesimpulan untuk menang akhirnya tetap pada kekuatan modal material, bukan pada kekuatan pikiran dan gagasan.
Fenomena ini tidak terlepas dari fakta sosial dan ekonomi masyarakat yang masih mempersoalkan urusan perut atau kemiskinan. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat inilah yang menjadi acuan bagi pembuat strategi kampanye untuk membuat aksi. Biaya untuk menang akhirnya menjadi sangat tinggi bagi seorang calon.
Jika seorang calon masuk dalam kontestasi politik dengan perhitungan dagang atau profit orientik akhirnya setelah terpilih otak dagang mereka pasti jalan. Kekuatan kuasa yang telah diperoleh akan menjadi mudah mengembalikan modal tersebut. Halal haram bukan menjadi pertimbangan lagi.
Potensi pikiran dan gagasan dari seorang calon, tanpa didukung oleh logistik yang cukup, sepanjang kemiskinan masih merajalela di tengah masyarakat akan sulit untuk menang. Akan mudah dikalahkan oleh kompetitor yang memiliki logistik yang memadai, walau ide dan gagasan yang dipropagandakan hasil copy paste dari berbagai literatur yang ada. Sedikit memoles diri dengan fashion yang menyakinkan masyarakat sudah terkesima. Jika mereka sudah terkesima objektifitas mereka tidak akan jalan.
Adu ide dan gagasan dalam kontestasi pilkada saat ini kemungkinan besar belum terjadi. Main pitih mungkin lebih brutal dari pilkada sebelumnya, mengingat kondisi ekonomi masyarakat masih terpuruk pasca epidemi covid. Lembaran merah akan beterbangan di kantong-kantong masyarakat miskin. Tidak perlu mendengar calon berpidato, mereka sudah menetapkan pilihan pada calon yang memberikan terbanyak.
Kaum idealis yang cuma bermodalkan ide dan gagasan sepertinya masih ke laut pilkada musim ini. Budaya demokrasi kita semakin tidak bisa menghadirkan sosok PAHLAWAN dalam sistem kepemimpinan pemerintahan kita.