Limapuluhkota, sumbartime.com–-Bencana alam banjir dan longsor karena curah hujan tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota, setidaknya membuka mata semua pihak, terutama pemerintah dan masyarakat. Dibutuhkan langkah dan penanganan serius secara jangka panjang, guna menekan kerugian dampak bencana, secara berulang.
“Bencana kemarin membuat kita terhentak. Kita tahu, secara geografis alam Limapuluh Kota sangat labil. Banjir dan longsor kini jadi bencana tahunan. Perlu dicatat, tahun (2016) lalu, daerah ini dilanda bencana serupa,” kata Wakil Bupati Ferizal Ridwan, ketika diwawancara di kantor bupati, kawasan Sarilamak, Senin (13/3).
Ia memaparkan hasil tinjauannya ke sejumlah titik bencana di Kecamatan Pangkalan-Kapur IX, sepanjang Jumat-Sabtu (10-11/3). Di sela mendistribusikan bantuan logistik ke Galugua, salah satu nagari terjauh di bagian barat Limapuluh Kota–Ferizal menyebut dirinya sempat memeriksa kondisi dua daerah aliran sungai (DAS), yang mengairi kawasan terdampak bencana.
Dua aliran sungai, Batang Maek dan Batang Kapur di Pangkalan dan Kapur IX, kini terus mengalami pendangkalan dan penyempitan. Aliran air pada dua sungai itu tidak lagi normal karena tertimbun material pasir dan batu. Ini menyebabkan debit air meluap ketika intensitas hujan mendominasi kawasan hulu sungai.
Batang Kapur yang bermuara ke Kabupaten Kampar, Riau, katanya, mengalami pendangkalan terparah. “Sejak lima tahun terakhir, mulai dari Nagari Sialang ke Durian Tinggi, Batang Kapur mendangkal, 1-1,5 meter dari dasar aslinya. Ribuan kubik material, menutup badan sungai,” sebutnya.
Sehingga wajar, kata Ferizal, dua nagari di Kapur IX, yakni Sialang dan Durian Tinggi, terendam banjir, Jumat (3/3) lalu. Begitu pula, aliran Batang Maek, yang mengairi dua nagari di Kapur IX serta dua nagari di Pangkalan Koto Baru. Kondisi DAS Batang Maek menyempit di bagian hulu, membuat air meluap ke lahan warga.
Pendangkalan yang sama, katanya, tidak tertutup kemungkinan juga terjadi pada waduk PLTA Koto Panjang. Oleh sebab itu, perlu dikaji kembali secara teknis penetapan standar debit air di PLTA. “Sejak dua tahun belakangan, sudah tak terhitung material dibawa arus sungai ke sana (PLTA). Makanya harus dievaluasi, dinormalisasi melaui pengerukan,” tuturnya.
Ferizal menghitung, berdasarkan data kerusakan di lapangan, pembenahan melalui normalisasi Batang Maek dan Batang Kapur diperkirakan membutuhkan biaya Rp460 miliar. Jumlah itu, katanya, sudah termasuk jalan serta fasilitas umum yang rusak akibat banjir.
Terhadap longsor, Ferizal juga tidak menampik disebabkan aktivitas tambang galian C, yang konon memakai teknis peledakan. Seperti longsor badan jalan yang menimbun kendaraan pada akses Sumbar-Riau di Koto Alam. Hanya saja, pemkab terkendala soal kewenangan, karena perizinannya kini beralih ke provinsi dan pusat.
Terkait solusi penanganan bencana dan akses infrastuktur di Kapur IX, Ferizal berpendapat, ke depan perangkat kerja daerah perlu menyusun strategi anggaran untuk pengadaan paket alat berat dan pengelolaan Unit Pelayanan Teknis (UPT)-nya. “Termasuk soal kebijakan program pembudidayaan tanaman komoditi gambir, yang secara teknis bertolak belakang dengan reboisasi (penghijauan) serta dampak lingkungan,” tutup Ferizal. (ARY/rel)