BUKITTIGGI – Masyarakat hukum adat Kurai, yang merupakan suku asli warga Bukittinggi, melalui perwakilan Parik Paga Nagari Kurai, menuntut penyelesaian segera atas konflik tanah konsolidasi By Pass Ipuah, Kota Bukittinggi yang telah berlarut sejak tahun 1992.
Dalam upaya menuntut keadilan, Parik Paga Nagari Kurai mendirikan tiga buah plang besar di lokasi tanah sengketa yang bertuliskan
“Dilarang Memasuki Area Ini, Tanah Ini Milik Kaum Pasukuan Pisang Sabuah Gadang Datuak Rajo Mulia, tertanda Datuak Rangkayo Basa dan Datuak Mantari Basa”.
Ketua Harian Parik Paga Nagari Kurai, Taufik Datuak Nan Laweh, dalam pernyataannya di lokasi pada Jumat (9/8/2024) pagi, mengungkapkan bahwa aksi ini dilakukan untuk memancing perhatian pemerintah setempat agar segera menangani persoalan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Taufik menyatakan keprihatinannya terhadap anak kemenakan yang belum mendapatkan kepastian mengenai tanah tersebut dan berharap adanya solusi cepat dari pihak pemerintah.
Penghulu Suku Pisang, Mawardi Datuak Rangkayo Basa, juga menyatakan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah kota yang dinilai tidak serius dalam menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama 32 tahun ini.
“Kami sudah mengirimkan surat kepada Wali Kota dan bertemu dengan beberapa pejabat terkait, namun hingga saat ini belum ada hasil. Untuk mencegah konflik di antara sesama anak kemenakan, kami ingin Pemkot Bukittinggi segera menyelesaikan masalah ini,” tegas Mawardi Datuak Rangkayo Basa.
Ia menjelaskan bahwa konflik ini bermula dari Proyek Jalan Bukittinggi By Pass pada tahun 1992, di mana tanah yang terkena proyek tersebut menjadi sengketa antara Elida, Ajas St. Sinaro, Tk. Rajo Mulia, dan Marteti.
Sengketa ini kemudian mengakibatkan terbitnya Keputusan Wali Kota Bukittinggi Nomor 188.45-196-2002 yang menetapkan areal konsolidasi di Kelurahan Campago Ipuh sebagai areal yang dikembalikan ke tanah adat.
Pada tahun 2022, pihak Elida yang berusia 85 tahun telah memiliki Alas Hak yang diakui sah oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) Mandiangin Kota Bukittinggi. Namun, proses penerbitan sertifikat terhambat karena adanya bangunan liar di atas tanah tersebut yang didirikan oleh Tanin sejak tahun 2009, yang kemudian menjadi pokok permasalahan.
“Kami bersama Datuak Mantari Basa, selaku Penghulu Mamak Kepala Suku Pisang Sabuah Gadang Datuak Radjo Mulia, bertanggung jawab mengurus kemenakan Datuak Radjo sesuai arahan Niniak Mamak Pucuak Bulek. Kami menuntut agar Pemerintah Kota Bukittinggi segera menyelesaikan persoalan ini yang telah berlarut-larut,” tegasnya.
Konflik semakin memuncak ketika Soni (Dt. Panduko Marah dari Tilatang) mendirikan bengkel besi di tanah yang belum jelas penyelesaiannya. Meskipun Camat Mandiangin Koto Selayan dan pihak Elida telah memberikan teguran, Soni tetap tidak mau mundur karena sudah membayar sewa tanah sebesar Rp 37,5 juta kepada Tanin (alm).
Pada tahun 2010, Penghulu Mamak Kepala Suku Pisang almarhum Dt. Radjo ke-IV dan Mamak Kepala Waris almarhum Dt. Saidi Radjo pernah melaporkan kasus penggarapan dan perusakan tanah pusako tinggi tanpa izin kepada Polresta Bukittinggi.
Namun, hingga kini, Izin atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) belum diterbitkan oleh pihak terkait meskipun telah diterbitkan Surat Peringatan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang pada tahun 2020.
Laporan oleh: Alex