Tidak satu jalan ke Roma, ungkapan ini rasanya patut disematkan kepada orang tua yang bekerja banting tulang demi menyekolahkan anak setinggi-tingginya. Penjual Paniaram di Nagari Taeh Bukik, sukses mengantarkan sang anak ke jenjang pendidikan strata 3 (S-3). Bagaimana kisahnya?
Penulis: Hermiko (Staf Humas Setkab Limapuluh Kota)
Jemari Hasmi (65), warga Taeh Bukik, Kecamatan Payakumbuh begitu cekatan, membalik lalu mengangkat Pinyaram (penganan khas Sumatera Barat-red), ketika penulis berkunjung ke kediamannya, di Jorong Pabatungan, Rabu (29/3) siang. Lelaki paruh baya itu tiap sebentar mengusap keringat di dahi dan leher menggunakan baju, usai berjibaku di tempat penggorengan.
Ya, kegiatan menggoreng memproduksi Pinyaram sudah menjadi kegiatan rutinnya saban hari. Bahkan, Hasmi mengaku telah menjalani aktifitas itu sejak puluhan tahun lalu. “Kira-kira sejak tahun 1990-an, saya menggeluti produksi Panyaram di kampung ini. Ini kami lakukan, demi memenuhi kebutuhan hidup dan menguliahkan anak-anak kami,” aku Hasmi, kepada penulis.
Hasmi menyebut, saat ini salah seorang anak perempuannya, Maria Ulfa (30), sedang menjalani pendidikan di bangku Strata tiga atau jenjang Doktoral di Universitas Fisika di Negara Perancis. “Saya tidak ingin, anak saya bodoh seperti saya,” tekad Hasmi. Sehari-hari, Hasmi bekerja didampingi istri tercintanya, Ermialis (64).
Tekad hati Hasmi dan istrinya, mengantarkan sang anak menempuh jenjang pendidikan setinginggi-tingginya sudah ditanamkan sejak lama. Keinginan tersebut, diakuianya, menjadi semacam cambuk, menaruh harapan kepada anak-anaknya agar tidak bernasib sama dengannya.
Dia bercerita, sebelum melanjutkan studi ke luar negeri, anak paling bungsu, kelahiran 31 September 1987 ini berhasil menyelesaikan S1 program studi Fisika di Universitas Negeri Padang (UNP) dengan nilai sangat memuaskan. Maria tercatat mengantongi IPK 3,88. Setelah di UNP, Maria melanjutkan studi Magister Fisika di Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Saat itu, jangankan biaya S2 anak ke Bandung, biaya S1 di Padang saja kami sudah kewalahan. Apalagi mencari biaya buat Maria berangkat ke Bandung, saya dan ibunya terpaksa harus menggadai sawah satu-satunya milik keluarga. Beruntung Maria punya tabungan, ketika ia kuliah di Padang, pernah nyambi kerja paroh waktu, menjadi guru ngaji MDA,” kenang Hasmi.
Saat bercerita, mata Hasmi berkaca-kaca. Seketika melanjutkan cerita, Hasmi menyeka air mata dengan punggung tangan kanan. Bahkan, Hasmi mengisahkan, Maria sempat berputus asa, unutk melanjutkan pendidikan, karena mengingat tingginya biaya yang harus ditanggung kedua orang tua.
“Saya sempat memarahi anak bungsu saya itu. Tiap hari, ia saya arahkan, agar terus bersemangat, sembari berdo’a kepada Yang Maha Kuasa,” tuturnya.
Usaha keras Hasmi bersama Ermailis, mencari biaya pendidikan, pun disambut dengan sikap sang anak dengan belajar sungguh-sungguh. Tak lama, perjuangan itu berbuah manis. Maria berhasil meraih Program Double Degree dari Pemerintah Prancis dan Mendikbud, setalah menyelesaikan study S2 selama satu tahun di ITB dan satu tahun di luar Negri.
Maria berkesempatan melanjutkan Studi Magister selama dua Smester di Perancis hingga lulus pada tahun 2013. “Saya sujud syukur kepada Allah SWT, karena apa yang kami cita-citakan bisa terwujud. Sungguh tak terbayang, bagaimana pengorbanan kami dengan segala keterbatasan, sukses mengatarkan Maria menuju gelar Doktor di luar negeri,” tambah Hasmi.
Begitu menyelesaikan program Magister, Maria mendapatkan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) agar melanjutkan kuliah ke jenjang S3 jurusan Fisika di Negeri kelahiran Napoleon, Perancis. “Kini Maria tengah mengikuti Program Doktoral (S3) Fisika di Perancis. Sudah setahun empat bulan ia menimba ilmu di Perancis,” tukuk Hasmi.
Dimata sang ayah, si bungsu dari tiga bersaudara itu tidaklah terlalu pintar benar. Namun ia diyakini memiliki ketekunan yang tinggi dan pantang bosan dalam belajar. Pun begitu, Hasmi mengaku sangat bangga pada Maria.
Kepada anak bungsunya itu, Hasmi selalu mengaku berpesan agar rendah diri dan tidak berkecil hati, kendati memiliki orang tua yang hanya berprofesi sebagai penjual Kue Pinyaram. “Alhamdulillah, meski kerap kesulitan memperoleh biaya, kuliah Maria tetap berlanjut. Percayalah, jika kita berusaha dengan ketekunan niscaya bisa berhasil,” tutur bapak tiga anak itu. (Hermiko)