Di jantung Bukittinggi, tempat di mana Jam Gadang berdiri anggun menantang waktu, satu nama kini bersiap abadi bersama sejarah kota.
Jalan Haji Usmar Ismail, bukan sekadar nama baru di peta, melainkan penanda cinta, penghormatan, dan cita-cita sebuah bangsa terhadap anak kandungnya yang terbaik.
Pada 29 April 2025, gemuruh tepuk tangan dan irama talempong akan menyambut peresmian jalan ini. Peristiwa itu lebih dari seremoni. Ia adalah perwujudan janji Bukittinggi kepada Usmar Ismail: bahwa tanah kelahirannya tidak akan pernah lupa pada jejak-jejak perjuangan dan karya yang ditorehkan sang pelopor perfilman Indonesia.
Wali Kota Bukittinggi, H. M. Ramlan Nurmatias, SH, menyebut momen ini sebagai sejarah yang hidup. “Usmar Ismail adalah teladan tentang bagaimana seni bisa menjadi bahasa perjuangan,” katanya tegas.
Dan jalan yang kini menyandang namanya berada di titik yang tidak mungkin lebih tepat, di tengah denyut wisata, budaya, dan kerinduan akan sosok-sosok besar yang menginspirasi.
Di balik gagasan ini berdiri seorang sineas muda, Arief Malinmudo, yang membawa usulannya kepada pemerintah kota. Bagi Arief, mengenang Usmar Ismail bukanlah sekadar nostalgia, tapi sebuah panggilan untuk melanjutkan obor.
“Usmar adalah cahaya di tengah gelapnya zaman. Kita hanya tinggal menjaga agar cahayanya tak padam,” ucapnya.
Penghargaan ini juga mengalir lembut ke hati keluarga besar Usmar Ismail. Heidy Hermia Ismail, sang putri, menahan air mata kala menyampaikan rasa terima kasihnya. “Bukittinggi telah memeluk ayah saya kembali,” katanya dengan suara bergetar.
Seniman kawakan Riri Riza, yang turut mengarsiteki Pameran 100 Tahun Usmar Ismail, melihat peristiwa ini sebagai momentum kultural.
“Penamaan jalan ini penting, tapi lebih penting lagi bagaimana kita membiarkan Usmar terus bicara kepada generasi muda,” ujarnya.
Usmar Ismail: Lahir dari Tanah, Hidup dalam Sejarah
Lahir pada 20 Maret 1921 di Bukittinggi, Usmar Ismail tidak hanya mencatat sejarah sebagai sineas pertama Indonesia, tetapi juga menjelma sebagai penulis, jurnalis, dan pejuang kebangsaan. Dari Darah dan Doa yang menandai Hari Film Nasional, hingga karya-karya ikonik seperti Lewat Jam Malam dan Tiga Dara, ia membangun dunia film sebagai medium ekspresi dan perlawanan.
Gelar Pahlawan Nasional yang disematkan padanya tahun 2021 adalah bentuk pengakuan formal. Tapi penghargaan sejati, mungkin, adalah ketika anak-anak muda suatu hari berjalan menyusuri Jalan Haji Usmar Ismail dan bertanya: “Siapa dia, dan apa yang ia wariskan kepada kita?”
Kini, harapan membumbung tinggi: dari penamaan jalan menuju berdirinya Museum Film Usmar Ismail di Bukittinggi. Sebuah ruang hidup, tempat ide dan idealisme terus mengalir. Sebab bagi kota ini, Usmar Ismail bukan hanya masa lalu, ia adalah masa depan yang terus tumbuh, dalam adegan-adegan baru perfilman Indonesia yang belum selesai ditulis. (Alex.Jr)