Sumbartime.com,- Abdul Muis. Lahir pada 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat, Abdul Muis memiliki jiwa petualang tinggi seperti kebanyakan orang Minangkabau.
Sejak masa remaja, ia merantau ke Pulau Jawa, bahkan di usia tua, ia masih menghabiskan waktunya di perantauan peenah menjadi sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia
Abdul Muis menempuh pendidikan di Stovia selama tiga setengah tahun, namun karena sakit, ia harus meninggalkan sekolah kedokteran tersebut. Ia pergi ke Belanda pada tahun 1917 untuk menambah ilmu.
Meskipun hanya memiliki ijazah ujian amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan lulusan Eur. Lagere School (ELS), kemampuan bahasa Belanda Abdul Muis dianggap melebihi rata-rata orang Belanda.
Setelah keluar dari Stovia, Abdul Muis diangkat menjadi kierk atau pekerja kantoran di Departement van Onderwijs en Eredienst yang membawahi Stovia, menjadi orang Indonesia pertama yang mendapat kesempatan tersebut.
Namun, pengangkatannya menjadi kierk tidak disukai oleh pegawai Belanda lainnya, sehingga ia tidak betah bekerja dan akhirnya keluar dari departemen tersebut setelah bekerja selama lebih kurang dua setengah tahun.
Setelah keluar dari departemen, Abdul Muis mencoba berbagai macam pekerjaan, termasuk di bidang sastra, jurnalistik, dan politik. Pada tahun 1905, ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik di Bandung.
Namun, pada tahun 1907, majalah Bintang Hindia dilarang terbit, dan Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Selama lima tahun, ia menjadi mantri lumbung sebelum akhirnya diberhentikan dengan hormat karena cekcok dengan pejabat Belanda pada tahun 1912.
Selanjutnya, Abdul Muis bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar harian Belanda yang terbit di Bandung, sebagai korektor. Dalam waktu singkat, ia diangkat menjadi hoofdcorrector (korektor kepala) karena kemampuan bahasa Belandanya yang baik.
Pada tahun 1913, Abdul Muis keluar dari De Prianger Bode dan bersama dengan A.H. Wignyadisastra, memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung.
Pada tahun yang sama, atas inisiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat membentuk Komite Bumi Putra untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda serta mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.
Pada masa pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis memimpin Serikat Islam. Pada tahun 1917, ia dipercaya sebagai utusan SI ke Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar. Tahun 1918, setelah kembali dari Belanda, Abdul Muis pindah ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun 1918, Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).
Perjuangan Abdul Muis tidak berhenti sampai di situ. Bersama dengan tokoh lainnya, ia terus berjuang menentang penjajah Belanda. Pada tahun 1922, misalnya, ia memimpin Perkumpulan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ia memimpin gerakan memprotes aturan landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat.
Ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut, ia terus melancarkan serangannya.
Namun, tindakannya dianggap mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat oleh pemerintah Belanda. Pada tahun 1926, Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dari daerah luar Jawa dan Madura. Akibatnya, selama lebih kurang tiga belas tahun, ia tidak diperbolehkan meninggalkan Pulau Jawa.
Meski demikian, Abdul Muis tidak berhenti berjuang. Ia mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar tersebut tidak berumur panjang.
Di samping dunia pers, Abdul Muis juga aktif di dunia politik. Pada tahun 1926, dengan dukungan Serikat Islam, ia terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Enam tahun kemudian, ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia.
Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis tetap bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai menggerogotinya. Ia diangkat menjadi pegawai sociale zaken oleh pihak Jepang. Pada tahun 1944, Abdul Muis berhenti bekerja karena merasa sudah tua. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, ia aktif kembali dan bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah diminta untuk menjadi anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung).
Sebagai sastrawan, Abdul Muis telah menghasilkan empat buah novel/roman dan beberapa karya terjemahan. Salah satu karyanya yang terkenal adalah “Salah Asuhan,” yang dianggap sebagai corak baru penulisan prosa pada masanya. Di tengah sastrawan lain yang banyak menyajikan tema lama seperti pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin pak
Terima kasih telah menjadi keluarga besar pembaca media Sumbar Time menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus Sumbar time senantiasa menghadirkan berita khusus spesial memperingati hari kemerdekaan.
jangan sampai ketinggalan update beritanya setiap hari.
Editor : Rio