SUMBARTIME.COM-Sepi sesaat.Kemudian”orang Cuba”itu berkata lagi.“Dan jika engkau bertemu dengan pimpinanmu,Nona.Sampaikan ucapakan ku ini:Pisang merah ternyata terlalu kuning ditimpa panas!Nah,saya tak suka mendengar segala omong kosongmu lagi!”lalu sepi.yang bicara justru kennedy.
“Ya Tuhan,apakah benar yang dipesawat Maxmillan ada perwira Cuba sebagaimana yang kita dengar?”pertanyaan ini secara langsung ditujukan kepada Wakil Kepala CIA dan Direktur FBI yang ada dalam ruangan oval Gedung Putih itu.Kedua orang ini seperti berlomba untuk mendapatkan informasi tentang orang yang bernama Yoseph Maxmillan yang berpangkat kolonel dalam pasukan Amfibi Cuba itu.”Yoseph Maxmillan memang pernah ada..”jawab direktur FBI mendahului Wakil CIA itu.
“Dia adalah Komandan Pasukan Amphibi di Pulau Samun sepuluh tahun lalu.Kemudian namanya lenyap tiba-tiba,ada yang bilang dia mati bersama tank amphibinya yang tenggelam dalam latihan perang di Teluk Babi,ada juga yang bilang dia sengaja dilenyapkan,untuk dialih tugaskan ke Eropa untuk menjadi mata-mata Komunis,kemudian pindah lagi kekota lain.Ne York,Dallas,Washington,atau siapa tahu di California dengan wajah yang sudah di operasi…”
Kennedy mengangguk-angguk, namun wakil direktur CIA yang ada di sisi lain menyambut cepat:
‘’Menurut penelitian kami, Yoseph Maxmillan tak pernah ditugaskan di Eropa. Namanya memang ada dalam pasukan amphibi. Namun pangkat terakhir bukan kolonel. Melainkan mayor. Dia diselundupkan ke dalam organisasi buruh alat-alat berat dari pabrik caterpilar.
Di sana tempat yang cocok baginya. Sebab dia mengetahui tentang alat-alat berat sejenis tank atau traktor. Dia diduga ditangkap di New Jersey secara tak sengaja oleh polisi, tatkala buruh pabrik yang sejak semula diduga diselusupi komunis itu mengadakan aksi menolak nuklir empat tahun yang lalu..’’
Kennedy kembali mendehem.
Tapi apakah benar informasi tentang Yoseph Maxmillan seperti yang dilaporkan oleh kedua pimpinan dinas rahasia Amerika itu? Mereka memang bertindak cepat. Berhasil mengumpulkan informasi demikian cepat, padahal Maxmillan baru saja habis bercerita di radio. Siapakah sebenarnya Yoseph Maxmillan sebagaimana yang dikatakan oleh pilot itu?
Dia memang tak berbohong tentang Yoseph Maxmillan. Nama itu memang pernah ada di pulau Samun. Pasukan seperti yang disebutkannya juga benar ada. Pangkat orang yang bernama Yoseph Maxmillan itu terakhir adalah Kapten. Komandan pasukan amphibi di pulau itu. Nama itu sangat populer ketika Maxmillan kecil, yang kini jadi pilot, tinggal di Pulau Samun.
Dia populer karena sikapnya yang ramah. Berbeda dengan teman-temannya yang lain. Suatu malam, Maxmillan, tentara Nasional Cuba itu membunuh seekor ular besar sekali di rawa pulau Samun. Ular itu sangat ditakuti penduduk, karena sudah sering menelan lelaki yang datang ke rawa itu untuk berburu belibis.
Maxmillan membunuhnya dengan karaben, dan membawa ular sebesar pohon pisang itu ke kampung. Kini nama ayahnya itulah yang akhirnya diberi orangtuanya kepadanya, Maxmillan. Artinya, Yoseph Maxmillan adalah ayah Maxmillan yang kini sedang menerbangkan pesawat dan baru berdialog dengan Yuanita!
Kini, Maxmillan yang pilot itu menerbangkan pesawatnya terus menuju Mexico. Ke tempat dimana para pembajak menunggunya. Dia berharap agar orang-orang Amerika yang menyelesaikan masalah ini akan segera mendapat jalan keluar menjelang dia tiba di lapangan Mexico.
Dia hanya ingin memberi kesempatan sampai waktu satu setengah jam yang diberikan pembajak itu terpenuhi. Sebab jika tak satupun pesawat yang mengaku membawa para tahanan politik dari Alcatras, maka para pembajak akan meledakan pesawat yang mereka bajak berikut isinya. Kini dia tolong memperpanjang waktu itu sampai terpenuhi.
Di dalam pesawat. Suasana tak begitu tegang lagi. Para penumpang malah ada yang tertidur karena lelah dan panas. Yang tidak tidur adalah si Bungsu dan Tongky. Mereka duduk saja diam-diam. Penumpang mendapat jatah makanan dan minuman. Yang membagikannya tetap saja para pramugari pesawat JAL itu. Mereka ditugaskan oleh pramugari Italia yang jadi pimpinan pembajak. Kesunyian di pesawat dipecahkan oleh suara Tongky, negro teman si Bungsu yang bekas pasukan Green Berret itu.
‘’Hey Yuanita, apakah Nona keberatan kalau makan bersama kami? Hitung-hitung sebagai makan perpisahan. Mana tahu, kita tak berjumpa lagi, bukan?’’ Penumpang lain yang pada terbangun karena mendapat jatah makanan, pada melotot mendengar selorohan negro gagah itu.
Namun Yuanita, gadis cantik itu menerima ucapan tersebut dengan tersenyum dan menjawab:
‘’Kita masih belum akan berpisah, kawan. Kalaupun datang pesawat yang membawa teman-teman kami dari Alcatras, kau dan temanmu orang Indonesia yang pendiam itu akan tetap bersama kami. Kami akan memilih beberapa orang diantara kalian, termasuk
Menteri ini, untuk teman sepesawat sampai di lapangan tujuan kami..’’
‘’Hm, kalau bergitu saya amat bahagia. Dapat bersama Anda lebih lama. Apakah lapangan Havana di Cuba menjadi tujuan akhir Anda?’’
‘’Nanti akan saya beritahu, jika tiba saatnya’’ ujar gadis itu sambil masuk keruang pilot.
Tongky mengangkat bahu dan mulai menyuap makanannya. Matanya beberapa kali menatap ke lobang jendela yang pecah, yang tadi tempat seorang pembajak menembak mobil tangki. Jauh di sudut kanan dia lihat kerangka tangki itu masih mengepulkan asap tipis. Nun di sana kelihatan tower pengawas.
Dia meletakkan sendoknya, mengangkat kedua tangannya menirukan sedang memegang bedil panjang. Membidik lewat jendela kaca yang pecah di depannya, kemudian:
‘’Door!’’
Penumpang di depannya kaget. Menoleh ke belakang. Tongky senyum dan mengerdipkan mata, sementara tangannya masih seperti memegang bedil. Kemudian Tongky menyendok makananya lagi. Menoleh ke jendela yang pecah, pandangannya lurus ke menara pengawas. Di sana, di tower itu, pasti ada pejabat-pejabat penting yang berunding dengan para pembajak, pikirnya.
Sebab salah seorang pembajak tadi menembak dari jendela tersebut ke tower itu. Dia menyendok makanannya kembali. Mengunyah dan menoleh pada dua orang pembajak di kanan sana. Kedua pembajak orang Cuba itu tetap tegak seperti patung. Di tangan kananya pistol, di tangan kirinya granat siap meledak.
Tongky menoleh lagi ke jendela, meneruskan pandangan ke tower pengawas yang barangkali menurut taksirannya sekitar 700-an meter dari pesawat ini. Orang di tower tentu bisa menembak kemari. Dengan alat bidik yang baik, peluru bisa masuk lewat kaca yang pecah, dan kalau peluru itu masuk…
Tongky menoleh ke kanan, dan peluru itu akan mengantam persis kepala salah seorang pembajak. Ya, peluru dari tower tinggi itu akan membuat sudut rendah ke pesawat. Kalau saja orang di tower itu punya otak, mereka bisa menembak. Namun untung saja otaknya itu tak dipergunakan, pikir Tongky pula.
Sebab kalau mereka pergunakan otaknya, dan mereka menembak, dan pembajak yang satu itu tersungkur mati, maka pembajak yang lain tentu dengan serentak akan meledakan granatnya. Lalu..isi pesawat ini jadi abu! Untung orang di tower tak pakai otak, pikir Tongky lagi sambil melahap sisa terakhir dari makanannya di piring plastik.
Matanya kembali menatap kaca jendela yang pecah. Dan, tiba-tiba, ya, tiba-tiba sebuah pikiran menyelinap ke otaknya. Jika dari menara bisa menembak, dan dengan memakai alat peredam, peluru pasti bisa masuk ke mari dengan diam. Bahkan tanpa alat peredampun, tembakan dalam jarak seribu meter itu takkan terdengar dari dalam pesawat.
Mereka di tower harus berbuat sesuatu, pikir Tongky. Dia mencoba membayangkan perang Vietnam yang dia lalui bersama teman-temannya dulu. Betapa mereka mempergunakan bedil yang pakai peredam. Pesawat udara menjatuhkan bom-bom kimiawi. Bom yang menyebarkan kuman, bom yang menyebabkan penduduk atau para pemberontak komunis jadi tertidur. Bom berisi obat tidur! Ya, itu dia!
Orang di tower itu harus mencari peluru yang ujungmya berrisi zat kimia. Peluru itu ditembakkan ke dalam pesawat. Tanpa suara, tanpa warna, peluru yang ujungnya berisi zat kimia itu akan melumpuhkan seluruh isi pesawat dalam waktu sekejap. Para pembajak bisa tak mengetahui sama sekali.
Tongky mengambil pena dari kantong bajunya. Kedua ujung pena itu punya tiga fungsi. Ujung yang satu, yang mirip pena adalah untuk menulis, sekaligus merupakan senjata yang bisa merubuhkan lawan dalam jarak sepuluh meter. Senjata yang hanya dipergunakan dalam saat yang amat mendesak.
Ujung yang satu lagi, yaitu bahagian pangkalnya, berfungsi sebagai senter. Tongky melipat kedua tangannya di dada. Pangkal penanya dia tekan ke jendela kaca di kanannya. Dan dalam sikap seperti itu dia mempergunakan senter tersebut sambil matanya memperhatikan para pembajak.
Perbuatannya pasti tak kelihatan, karena tubuhnya terhalang oleh tubuh di Bungsu ke arah pembajak yang tetap menatap seisi pesawat dengan pandangan dingin di balik kacamata hitamnya.
Di Tower Bandara. tiba-tiba salah seorang petugas menunjuk ke pesawat.
‘’Lihat…ada cahaya..!’’
Semua memperhatikan ke pesawat itu dengan seksama.
‘’Ya… cahaya! Lemah sekali…’’ ujar yang lain.
‘’Ambilkan teropong…’’ kata Direktur CIA kepada bawahannya.
Bawahannya, seorang tentara berpangkat kolonel, segera mengerti apa yang dikehendaki atasannya. Sebuah benda mirip teropong, namun punya daya pembesar sangat hebat, segera diberikan. Dan saat itu juga, ada sekitar empat atau lima orang yang di tower segera berusaha membaca isyarat lemah dari pesawat itu.
Yang cepat bisa membaca adalah si kolonel ajudan Direktur CIA itu. Tanpa mempergunakan alat teropong, dia mengeja isyarat tersebut:
‘’Jangan dibalas. Ulangi… jangan dibalas…’’ dan cahaya itu mati sebentar. Mereka di tower saling pandang.
‘’Orang mengirim isyarat itu meminta jangan membalas isyarat itu, dia khawatir kalau isyarat balasan kelihatan oleh pembajak di pesawat..’’ kolonel itu menterjemahkan isyarat tersebut.
Kepala Staf Angkatan Perang Mexico segera maklum apa yang harus dia perbuat. Dia meraih sebuah corong, dan memerintahkan pada seluruh anak buahnya di sekitar lapangan itu, untuk tidak membalas isyarat apapun yang datangnya dari pesawat.
‘’Cahaya itu lagi…’’ seru penjaga tower.
Benar, cahaya halus itu kembali berkelip-kelip, hanya berjarak sebuah jendela dari jendela kaca yang pecah bekas pembajak itu tadi menembak.
‘’Tembakan peluru bius lewat jendela yang pecah. Ulangi… tembakan peluru bius… Pasukan elit Amerika… memiliki… peluru jenis..itu. Jika … isyarat saya ini dimengerti, beri isyarat dengan sesuatu… apa saja..’’
Mereka berpandangan lagi.
‘’Seseorang di dalam pesawat itu bisa kita jadikan perantara untuk menolong kita keluar dari kemelut ini. Dia memakai sandi yang hanya biasa dipakai Tentara Sekutu. Barangkali yang mengirim sandi ini adalah seorang ajudan Menteri Muda kita..’’ kata salah seorang staf Menteri Luar Negeri Amerika.
‘’Kita harus cepat memberi isyarat seperti yang dikehendakinya..’’ ujar kolonel yang menterjemahkan isyarat tadi dengan cepat.
‘’Ada senter atau sejenis itu di sini?’’ tanyanya. Namun pertanyaan itu mendapat sanggahan dari beberapa orang. Termasuk Menteri Luar Negerinya.
‘’Orang itu sudah mengatakan agar kita tak membalas isyaratnya. Kita tak bisa memakai senter’’.
‘’Tapi Tuan Menteri, kita tak membalas isyarat apa-apa. Kita hanya akan menghidupkan senter itu sekali saja. Dan habis. Itu sebagai isyarat bahwa kita menerima pesannya..’’
Terjadi perdebatan, akhirnya pendapat kolonel yang memang telah kenyang dengan perang di berbagai tempat itu diterima. Kepadanya diberikan sebuah lentera segi empat yang dihidupkan dengan listrik. Lentera itu dihadapkan ke pesawat. Tombol ditekan, hidup hanya sedetik.
Mereka menanti dengan tegang. Di pesawat, Tongky melihat cahaya yang hanya sedetik itu. Namun dia tahu, itu adalah jawaban atas isyaratnya. Dia lega, namun sekaligus juga waspada. Dia memperhatikan para pembajak itu, apakah ada diantara mereka yang melihat cahaya tersebut? Sepi. Tak ada seorangpun yang tahu.
‘’Isyarat itu lagi..!’’ seseorang berkata di tower.
Kolonel CIA itu kembali menterjemahkan:
‘’Tembakan peluru jika saya memberi isyarat dengan sinar panjang. Namun jika peluru itu siap, harap beri isyarat kembali dengan hanya sebuah cahaya seperti tadi!’’
Sepi.
‘’Apakah pasukan khusus yang didatangkan dari El Paso membawa serta peluru yang dimaksud orang itu?’’ tanya Menteri Luar Negeri.
Direktur CIA menggeleng.
‘’Kemana peluru itu harus kita cari?’’ Bersambung>>>