Sumbartime.com,- PENUTUPAN Stasiun Lambuang oleh Pemerintah Kota Bukittinggi adalah sebuah keputusan yang menyisakan tanda tanya besar tentang arah pembangunan ekonomi kota ini.
Apa yang salah dari sebuah kawasan kuliner yang hidup, tertib, memberdayakan lebih dari seratus UMKM, dan bahkan menjadi magnet baru pariwisata di kota yang dikenal dengan ikon Jam Gadangnya?
Keputusan ini bukan hanya mengecewakan, tapi juga membingungkan. Stasiun Lambuang bukan proyek gagal, bukan pula tempat yang menimbulkan konflik sosial atau kemacetan, justru sebaliknya, ia hadir sebagai wajah baru Bukittinggi yang modern, tertata, dan tetap berakar pada identitas budaya Minangkabau.
Dengan alasan efisiensi anggaran, Pemko memutus kontrak dengan PT KAI, mengakhiri harapan banyak pelaku UMKM yang selama ini menggantungkan hidup di lokasi tersebut.
Tapi publik bertanya, efisiensi anggaran untuk siapa? Bukankah geliat ekonomi yang tumbuh dari kawasan itu menjadi investasi sosial dan ekonomi yang nyata bagi kota?
Ironisnya, kebijakan ini muncul setelah banyak pelaku usaha telah berinvestasi, baik tenaga, waktu, maupun uang, untuk menata lapak dan membangun relasi dengan pelanggan.
Kini mereka harus memulai dari nol, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Lebih dari sekadar kehilangan tempat usaha, mereka kehilangan kepercayaan pada arah kebijakan pemerintah kota.
Jika alasannya adalah laporan dari BPK terkait pembangunan permanen di lahan sewa, maka perlu diluruskan bahwa ketentuan tersebut sudah tidak berlaku.
Artinya, dalih hukum pun tidak cukup kuat untuk membenarkan pembubaran pusat kuliner yang baru saja lahir.
Yang menjadi sorotan lebih besar adalah lemahnya visi keberlanjutan ekonomi inklusif dari Pemko Bukittinggi. Penutupan Stasiun Lambuang mencerminkan kegagalan pemerintah dalam melihat dan merawat potensi yang telah terbukti berhasil.
Di saat kota-kota lain berlomba menciptakan ruang publik yang mendukung UMKM, Bukittinggi justru mundur selangkah ke belakang, seolah menyerahkan pembangunan ekonomi rakyat kepada pasar tanpa arah.
Kita tidak sedang bicara soal sewa tanah. Kita sedang bicara tentang political will, tentang keberpihakan pada usaha kecil dan menengah, tentang keberanian pemerintah untuk memelihara model kolaboratif yang terbukti efektif. Jika ini pun tidak bisa dijaga, bagaimana nasib inovasi ekonomi di masa depan?
Penutupan Stasiun Lambuang seharusnya menjadi momen reflektif, bukan akhir dari segalanya. Pemko masih punya kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tidak menutup mata terhadap jeritan para pelaku usaha.
Rakyat menanti, apakah akan ada solusi relokasi yang manusiawi? Apakah ada visi baru yang lebih kuat dan konsisten untuk mendukung UMKM?
Bukittinggi tidak hanya membutuhkan pembangunan fisik, tetapi juga keberanian moral untuk memilih rakyat kecil sebagai mitra utama pembangunan. Dan itu, hanya bisa dimulai dengan mendengar dan bertindak, bukan dengan membubarkan yang sudah berjalan baik.