BUKITTINGGI – Wali Kota Bukittinggi Erman Safar diwakili Sekdako Bukittinggi, Martias Wanto menegaskan, tidak ada persoalan secara langsung terkait tanah yang dibeli pemerintah kota Bukittinggi di daerah Manggis Ganting, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan (MKS) dengan pihak Universitas Fort De Kock.
“Pada 2005 universitas Fort De Kock membeli sebidang tanah yang diawali dengan per ikatan jual beli antara pihak Fort De Kock dengan pihak penjual dengan nomor sertifikat 654. Lalu 2007 sebagian dari tanah itu dijual oleh pemilik An. Syafril St Pangeran ke Pemko Bukittinggi,” ujar Martias Wanto kepada wartawan disela-sela menuggu perwakilan mahasiswa dari Universitas Fort De Kock guna berdialog dengan Wali Kota Bukittinggi, Jumat (14/7/2023).
Martias tadinya telah menunggu perwakilan mahasiswa dari universitas Fort De Kock untuk berdialog setelah dapat kabar batal hadir, menegaskan, kalau kelengkapan dari alas hak, sertifikat, pernyataan dari pemilik saat itu lengkap, maka terjadilah jual beli dengan nomor sertifikat 655.
Kata Martias, tanah tersebut satu hamparan dengan dua sertifikat.
Lalu lanjut Martias, seiring perjalanan Fort De Kock membangun dan seterusnya, yang kemudian terjadi persoalan dimana pemerintah memberikan teguran kepada Fort De Kock, pertama karena Fort De Kock membangun tidak sesuai dengan posisi/lokasi yang diizinkan, bahkan sebahagian bangunannya sampai pada Fasilitas Umum yang disediakan. Yang kedua. ada bangunan didirikan tanpa izin (IMB) dan masuk ke Tanah Pemko sekitar 1800 M.
Pemko Bukittinggi saat itu mengeluarkan Surat Peringatan (SP) 1, kemudian tidak diindahkan, keluar SP2 dan SP2 diuji oleh Fort De Kock ke PTUN dan Fort De Kock kalah, lalu banding ke PT TUN Medan juga kalah, dan terus Kasasi ke MA juga kalah.
Setelah Fort De Kock kalah, Pemko melanjutkan SP3, begitu SP3 diberikan , Fort De Kock memasukkan gugatan PTUN dan lagi-lagi kalah, terus banding dan tetap Kalah. Sejalan dengan Gugatan ke TUN tersebut. For De Kock juga melakukan gugatan perdata ke PN, lalu dalam proses perdata sebagian tuntutan mereka dikabulkan.
Dalam gugatan tersebut, Pemko termasuk tergugat 4, yang pertama adalah Syafril St Pangeran (penjual/pemilik) dan setelah inkrah dieksekusi.
Hubungannya dengan Pemko Bukittinggi atas hal itu, yaitu salah satu tuntutan Fort De Kock adalah membatalkan jual beli antara Syafril dengan Pemda, dan mereka (Fort De Kock, red) akan membayar uang tersebut dengan jumlah yang disepakati.
Namun demikian, pihak pengadilan negeri mengatakan tidak bisa dan tidak berwenang untuk membatalkan akta jual beli, dengan menyarankan untuk dilanjutkan di tata usaha negara.
Artinya, tegas Martias, bagi Pemko akta jual beli tersebut masih hidup (sah,red), karena tidak dibatalkan. Berdasarkan hal tersebut Pemko mencatat di dalam aset daerah.
“Tidak ada satupun kalimat yang menyuruh memberikan akta tersebut,” tegas Martias Wanto.
Disampaikan Martias, saat SP3 yang telah dikeluarkan Pemko saat itu sudah inkrah, oleh wali kota Bukittinggi sebelumnya hanya tinggal dieksekusi. Bahkan dapat dikatakan bakalan dieksekusi.
Martias mengutarakan, pemerintah kota Bukittinggi tegas berpihak kepada dunia pendidikan, dan tidak ingin merugikan mahasiswa di Universitas Fort De Kock.
“Sesuai arahan wali kota, jika Fort De Kock benar-benar membutuhkan, pemerintah kota Bukittinggi siap untuk menghibahkan langsung, namun selesaikan dulu proses hukum yang berjalan saat ini,” paparnya.
“Wali Kota Bukittinggi saat ini Erman Safar lebih pro degan pendidikan, maka belum dieksekusi, meskipun pemko didesak untuk melakukan eksekusi,” tambah Martias menegaskan.
Martias menyampaikan, hari ini paska telah dieksekusi keputusan Pengadilan Negeri (PN) Bukittinggi yang telah banding ke PT dan di kasasi kan ke MA sudah inkrah dan sudah dieksekusi. Artinya antara Fort De Kock dengan pemko Bukittinggi tidak ada persoalan secara langsung.
Untuk diketahui, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fort De Kock pada Rabu (5/7/2023) menggelar aksi di depan kantor wali kota Bukittinggi.
Mereka ingin berdialog dengan Wako Erman Safar, namun wako Erman saat itu tengah berada di luar daerah. Para mahasiswa menuntut dua hal, pertama agar pemko menyerahkan sertifikat dengan nomor 655, dan kedua
agar Pemko pro dengan dunia pendidikan.
Namun saat Pemko mengundang untuk berdialog, perwakilan mahasiswa dari Universitas Fort De Kock tidak datang dan akhirnya batal berdialog dengan Wali Kota Bukittinggi.
Tak Bisa Diberikan
Martias menyebutkan, sertifikat tanah yang dibeli Pemkot sejak 2007 bernomor 655 itu tidak bisa diberikan begitu saja kepada pihak manapun sesuai permintaan mahasiswa saat berdemo pada Rabu (5/7/2023) lalu, karena bertentangan dengan hukum.
“Jika diberikan sama artinya dengan menyerahkan aset pemerintah, ini tidak dibenarkan, Pemkot Bukittinggi tidak memiliki hubungan langsung dengan Fort De Kock karena sama-sama berstatus pembeli dari penjual atas nama Syafri Sutan Pangeran,” kata dia.
Disampaikan Martias, permasalahan tersebut sudah diekspos ke BPK dan KPK dan memang tidak diarahkan untuk memberikan sertifikat tanah.
“Kami siap menyerahkan sertifikat ini jika Aparat Penegak Hukum (APH) memintanya atau pengadilan menyatakan kecacatan hukum, selesai masalahnya, tapi ternyata tidak semudah itu,” paparnya.
Menurut Martias, persoalan semakin rumit karena adanya laporan kepolisian dari pemilik tanah sebelumnya, Syafri Sutan Pangeran ke Polda Sumbar yang mengadukan Pemkot Bukittinggi menggelapkan sertifikat itu.
“Ini semakin aneh lagi dan menjadi penghambat penyelesaian persoalan, tapi kami siap melakukan proses hukum, jadi mari lihat akhir dari pelaporan ini juga,” tutup Martias.