Di dalam sejarah politik Indonesia, ada berbagai sebutan untuk orang ‘dekat’ penguasa. Ada yang menyebutnya ring satu ada juga yang menyebutnya orang kepercayaan.
Entah apa yang mendasari hubungan tersebut. Bisa jadi teman kuliah, bisa teman separtai atau bisa jadi seorang pelatih golf. Namun sejarah memperlihatkan sangat ‘powerful’ sehingga seringkali mempengaruhi kebijakan dan sikap sang penguasa, bahkan hanya sekedar melalui telepon genggam.
Secara teori bernegara, ada yang namanya social consensus (kesepakatan sosial) masyarakat bahwa kedaulatan tertinggi negara berada ditangan rakyat, dan rakyat menyerahkanya kepada negara melalui udang-undang untuk menjalankanya. Tidak serta merta rakyat tidak ikut mengawasi jalanya penyelengaran pemerintahan.
Bagi penguasa penganut paham rasionalitas, serta obyektifitas, kritikan adalah sebuah keniscayaan dan menganggap si pengritik sebagi sparing patner, sebagai kontrol ekstra roda pemerintahan. Para penguasa tipe ini justru cendrung sangat mememerlukan para pengritik agar kinerjanya bisa berjalan sesuai dengan apa yang dia cita citakan.
Namun sebaliknya, jika penguasa menganut paham irasionalitas yang lemah dalam kemampuan berfikir secara akademis, lebih cendrung menyukai untuk dikelilingi oleh kelompok kelompok pembisik yang selalu bilang sudah siap pak, sudah dikondisikan pak.
Tentu para pengusa bertipe irasional ini adalah makanan empuk bagi para pembisik untuk bisa turut serta numpang kehormatan, serta berbagi lahan dengan memakai tangan tangan pengu
Para pembisik tentulah orang-orang dengan keahlian dan pengetahuan yang mumpuni, serta tentu saja disegani oleh penguasa sekalipun. Tetapi, kadang juga sebaliknya, demi tetap berada di sekeliling penguasa, mereka mau melakukan apa saja.
Tak jarang para pembisik tipe ‘bootlicker’ atau ‘yes man’ cendrung melakukan dan menggunakan segala cara untuk selalu berada di bawah ketiak para penguasa, agar maksud serta tujuan tertentu bisa berjalan mulus.
Kebanyakan serta kebiasaan tipe pembisik jenis Yes man ini, cendrung ingin mendapatkan pengakuan publik jika dirinya adalah orang dekat atau ring satu. Segala cara serta taktik akan dikerahkan tak peduli sekalipun rekayasa demi mendapat pengakuan dari publik.
Tentu hal ini sudah menjadi keharusan baginya, demi mempertahan hegemoni pribadinya agar tetap bisa untuk mendapat ruang dari penguasa. Segala informasi sekalipun hook sudah dipersiapkan sebagai bahan konsumsi untuk junjungannya. Mereka selalu terus memberikan puja dan pujian terhadap junjungannya, sekalipun kebijakan sang pengusa itu, telah menodai rasa ketidak adilan.
Namun anehnya, ketika junjungan mereka mendapat tekanan hebat dari publik, para ‘bootlicker’ ini, hilang, sirna dan bungkam serta tiarap tanpa pernah ada usaha untuk melakukan pembelaan. Sikapnya akan bertolak belakang 100% dengan segala puja puji yang pernah terlontarkan.
Bahkan parahnya, jika situasi memburuk dan mereka menyadari jika junjungan tak bisa terselematkan oleh badai publik, berlahan tapi pasti mereka berjalan meninggalkan tuan mereka, cuci tangan dan kembali bersiap membaca kompas serta arah mata angin.**