Limapuluhkota, sumbartime.com —Kunjungan kerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajjir Effendy dalam rangka meninjau ulang proyek pembangunan monumen nasional dan museum PDRI di Kototinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, mendapat tanggapan dari tokoh daerah setempat.
Pernyataan Menteri Muhajjir yang memberi signal bakal mengevaluasi atau tidak melanjutkan pembangunan Monas PDRI dinilai sebagai pernyataan penghianatan terhadap sejarah. Sebab, pembangunan Monumen PDRI sudah menjadi komitmen bersama sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 menteri pada 2008 lalu.
“Selaku putra daerah yang juga pengurus YPP-PDRI tahun 1948-1949, kami tentu keberatan mendengar sinyal Pak Mendikbud. Pak Menteri, seyogianya lebih memahami sejarah PDRI dan ikut mendorong melanjutkan proyek yang tengah mangkrak. Bahasanya jangan dihentikan, karena Pak Mendikbud, bisa menghianati sejarah,” kata Ferizal Ridwan, Sekretaris YPP-PDRI tahun 1948-1949 Sumatera Barat, kepada wartawan di Limapuluh Kota, Selasa (25/4).
Kesepakatan 5 Menteri itu, katanya, tidak hanya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi juga meliputi Kementerian Pertahanan, Kementerian Sosial, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Termasuk juga 4 lembaga non kementerian lainnya.
Mendikbud selaku salah satu kementerian yang terlibat dalam SKB 5 Menteri, harap Ferizal, mestinya ikut mendorong kementerian dan lembaga negara lain merealisasikan komitmen yang sudah dibuat pada rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu. Terutama perihal pemberian kompensasi terhadap daerah-daerah di basis PDRI.
Ferizal yang juga Wakil Bupati Limapuluh Kota, itu mengaku akan sangat kecewa dan menyesalkan apabila pihak kementerian mengambil langkah penghentian pembangunan monumen PDRI di Kototinggi, hanya karena alasan tekhnis pengerjaan oleh perusahaan pelaksana proyek. Karena, itu merupakan tanggung-jawab penuh perusahaan pelaksana proyek.
“Tentu saja, banyak tokoh dan masyarakat di daerah kami akan dirugikan, jika saja pembangunan monumen (PDRI) dihentikan. Karena tidak sedikit upaya yang sudah dilakukan, guna memperjuangkan serta mengupayakan pelurusan sejarah bangsa ini. Jangan hanya karena muak melihat satu tikus, lalu, lumbung dibakar,” tutur Ferizal.
Sebagai kuasa pengguna anggaran atas proyek, Ferizal tidak mempersoalkan proses evaluasi yang dilakukan Kemendikbud. Karena secara kewenangan, Mendikbud memiliki kewenangan penuh atas tugas tersebut. Tetapi, ia mengharapkan Kementerian jangan hanya mempertimbangkan tata-letak koordinat atau masalah kegagalan teknisnya.
Tapi Mendikbud kiranya perlu mempertimbangkan dan evaluasi atas kelanjutan anggaran atau kompensasi lainnya sesuai komitmen yang sudah dibuat. Ferizal mengajak, Mendiknas memahami sejarah tentang PDRI 1948-1949 yang menjadi mata rantai agenda nasional, yakni Bela Negara. “Harusnya, Mendiknas bisa mengedukasi masyarakat melalui tupoksinya, bagaimana mengupayakan pemuatan sejarah PDRI di kurikulum pendidikan,” tutur Ferizal.
Saat ini, katanya, seperti tema dari agenda Bela Negara, terindikasi mulai ‘dibengkokkan’ kepada kewajiban anak negeri untuk membela negara. Sedangkan, Bela Negara sebenarnya bersumber dari perjuangan PDRI. Ke depan, ia meminta pemerintah pusat, agar SKB 5 menteri ditindaklanjuti dalam bentuk Kepres atau Inpres, agar lebih mengikat tidak hanya ke organisasi pemerintahan tapi ke seluruh elemen bangsa.
Seperti diketahui, Mendikbud Muhajjir Effendy sempat melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Limapuluh Kota, meninjau kondisi pembangunan monumen PDRI, Senin (24/4). Muhajjir mengatakan, selain monumen PDRi di Limapuluh Kota ada 13 pembangunan museum yang akan dievaluasi dan ditinjau ulang.
Muhajjir yang kala itu bersama Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Hilmar Farid mengaku kedatangannya itu atas perintah langsung Presiden Joko Widodo. Ia mengungkapkan, hingga 2016 pembangunan museum PDRI telah menelan anggaran Rp 52,5 miliar. Total anggaran pembangunan museum PDRI di Koto Tinggi hingga 2019, akan menelan Rp 80 Miliar.
Mendikbud memang belum memastikan secara langsung apakah proyek yang dibangun sejak 2010 itu akan dihentikan atau tidak. “Yang jelas, kita akan komunikasikan dulu dengan Pak Presiden. Indikator evaluasi, salah satunya berupa besar alokasi dana yang dikeluarkan dengan manfaat yang akan didapatkan bagi masyarakat,” sebutnya. (ARY/Rel)