SUMBARTIME.COM-Sebenarnya tak ada niat si Bungsu untuk menyakiti Michiko. Namun ingatan terhadap kematian ayah, ibu dan kakaknya, benar-benar melukai hati anak muda ini. Dan tanpa dapat dia kuasai sepenuhnya, tangannya bergerak mendorong tubuh Michiko yang ada dalam dekapannya.
Gadis itu terpekik dan rubuh mandi darah! Pakaian tentang punggungnya robek. Darah mengalir dari sana. Saburo terlompat tegak.
“Michiko-sannnn…” Saburo benar-benar memekik dan menangis sambil menubruk tubuh anaknya itu. Gadis itu memang jantung hatinya. Anak tunggal yang sangat disayangi.
Melihat si Bungsu sudah mencelakai Michiko dua orang pendeta yang menjadi instruktur Samurai maju serentak. Namun yang mereka hadapi saat ini, mungkin satu-satunya manusia yang tercepat mempergunakan samurai di seluruh tanah Jepang saat itu.
Hal itu segera terbukti, ketika dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata, samurai ditangannya membabat samurai di tangan kedua sensei itu.
Kedua samurai pendeta itu hampir saja terpental ke udara saking kuat dan kukuhnya benturan samurai si Bungsu. Mereka kaget. Dan kekagetan itu adalah kelemahan mereka. Sebab waktu yang sedetik untuk kaget itu sudah terlalu panjang bagi si Bungsu.
Samurainya bekerja lagi. Salah satu samurai di tangan pendeta itu terpental ke udara. Dan kedua pendeta itu rubuh dengan dada robek.
Si Bungsu berputar, dan samurainya memukul samurai yang terpental ke udara, yang saat itu sedang meluncur turun. Terdengar suara besi beradu dan bunga api memercik. Kemudian samurai pendeta yang terpukul itu tertancap setengah jari dari tubuh Saburo Matsuyama yang tengah memeluk Michiko.
Kejadian beruntun itu amat cepat. Suasana tiba-tiba jadi sepi. Samurai yang tertancap di lantai itu bergoyang. “Apakah engkau akan berlindung terus dibalik punggung murid-muridmu Saburo? Apakah engkau tak mengenal malu menyuruh pendeta yang tak berdosa ini untuk bertarung menyelamatkan nyawamu? Tegak dan pertahankan dirimu!
Aku bukan hewan seperti engkau yang sampai hati membunuh perempuan. Anakmu hanya terluka kulit”
Suara si Bungsu terdengar dingin. Dan dia tegak dengan samurai berdarah di tangannya. Dengan kaki terpentang lebar. Michiko memang tak cedera. Hanya kulit punggungnya luka sedikit. Luka tergores. Si Bungsu memang tak berniat mencederainya. Dia hanya bermaksud memancing amarah Saburo untuk mau melawannya. Dan kali ini, tak seorangpun diantara para pendeta yang puluhan banyaknya itu berani maju menyerang.
Sudah delapan orang pendeta pendeta kuil mereka yang menemui ajal ditangan anak muda perkasa ini. Dan kedelapan orang itu, semua adalah para sensei. Instruktur mereka. Kalau instruktur mereka saja dengan mudah dirubuhkan anak muda itu, apalagi diri mereka. Kini mereka hanya tegak berkeliling menanti sikap obosan mereka. Saburo akhirnya tegak. Menatap pada si Bungsu.
Dia akhirnya menyadari, bahwa anak muda ini tak berniat mencelakai diri Michiko. Dia akhirnya menyadari, bahwa dari jauh anak muda ini datang benar-benar dengan maksud mencari dan menghendaki nyawanya.
Dia sudah mengukur kemampuan anak muda ini dalam memakai samurai. Dalam Kempetai yang bertugas di Asia, dia termasuk salah seorang samurai yang tangguh.
Tapi, kini melihat cara anak muda itu mempergunakan senjata tradisionil mereka itu, dia yakin jarang tandingannya di negeri ini. Anak muda ini bersilat samurai bukan dengan sistim dan ilmu samurai yang biasa.
Dia bersilat dengan hati dan istinknya! Inilah kelebihan anak muda itu. Kelebihan yang tak mungkin ditandingi.
Namun, meskipun dia sadar bahwa anak muda itu takkan terlawan, dia tak mau membuat anak muda itu kecewa. Dia harus melawannya. Anak muda itu tak mau membunuh Michiko. Itu saja sudah sebuah kebaikan yang takkan mungkin dia lupakan diakhir hayatnya ini.
“Baiklah. Saya akan melawanmu….” Katanya perlahan. Kemudian perlahan dia mencabut samurai yang terancap di lantai di sisi Michiko.
Dia tegak lurus-lurus menatap si Bungsu. lagu perlahan-lahan kepalanya berpaling kepada para pendeta anak buahnya yang tegak berkeliling.
“jika dia keluar sebagai pemenang dalam perkelahian ini, biarkan dia keluarkan dengan selamat dari sini. Dia menang dalam suatu perkelahian yang terhormat. Karena itu dia berhak dihormati sebagai seorang samurai sejati…”
Sehabis berkata begini, dengan cepat kakinya menggeser dua langkah menghampiri si Bungsu. Michiko sudah tak sadar diri. Dia tetap terlentang. Ketika si Bungsu mengancamkan samurai kelehernya, dia ingin mati saja di tangan anak muda itu. Dan ketika si Bungsu akan membunuh atau memperkosanya, dia sudah tak sadar diri. Hatinya benar-benar sakit dan terluka mendengar ucapan anak muda yang diam-diam dia cintai itu.
Kalau saat ini dia jatuh pingsan, maka dia pingsan bukan karena luka di pungggungnya. Melainkan karena luka dihatinya. Dan saat itu Saburo Matsuyama sudah berhadapan dengan si Bungsu! Ketika Saburo maju menggeserkan kakinya di lantai, perlahan si Bungsu menyarungkan kembali Samurainya. Samurainya itu dia pegang di tangan kiri. Tangan kanannya terkulai lemah. Dia menahan nafas.
Semua pendeta yang mengelilingi mereka jadi terheran-heran akan sikap demikian. Tadi anak ini yang menantang Obosan mereka. Tapi kini, ketika Obosan maju dengan samurai siap menyerang, tahu-tahu anak muda itu menyarungkan samurainya kembali. Apakah anak muda ini merasa takut dan merobah niatnya? Pikir mereka. Namun yang tak heran, malah terkejut melihat sikap anak muda itu adalah Saburo Matsuyama.
Tadi dia sudah menebak, bahwa anak muda ini bertarung dengan hati dan nalurinya. Tidak dengan sistim dan ilmu silat samurai biasa. Dan begitu melihat samurai si Bungsu menyisipkan samurai, dia segera tahu, bahwa anak muda ini benar-benar seorang yang tangguh. Seorang yang amat percaya pada diri dan kemampuannya. Dan dia ingin mencoba.
Sebuah bentakan berikut suatu serangan tiga kali bacokan cepat dia lakukan pada si Bungsu. serangannya amat cepat. Malah cepat sekali. Dia menyerang sambil pindah tempat dua kali. Serangan pertama ke arah leher dari depan. Serangan kedua dari kiri dengan memindahkan kaki kanannya ke samping menyerang pinggang. Serangan ketiga dari kanan dengan menggeserkan kaki kirinya menyerang lutut!
Namun tangan kanan si Bungsu bergerak seperti bayang-bayang. Ketiga serangan itu dia tangkis tanpa menggeser tegak seincipun! Bunga api beberapa kali memercik ketika samurai mereka beradu! Mereka kini tegak saling pandang. Saburo dengan kaki kiri di depan dengan samurai teracung setinggi dada. Si Bungsu tegak dengan kaki terpentang ke kiri dan ke kanan selebar bahu. Samurai sudah dalam sarung di tangan kiri!
Tiba-tiba kembali dengan gerakan cepat Saburo mengelilingi si Bungsu, dan begitu dia berada di belakang, dia melancarkan serangan kilat memancung dari atas. Si Bungsu membelintangkan samurainya di atas kepala. Tapi ternyata serangan itu hanya serangan tipuan. Serangan yang sebenarnya bukanlah dengan samurai. Melainkan dengan tendangan! Tendangan Saburo menghantam punggung si Bungsu!
Namun tipuan ternyata di balas dengan tipuan. Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa gerakan itu adalah gerakan tipuan. Hal itu dia ketahui dari arah angin yang berpindah akibat serangan kaki Saburo!
Dia menarik samurainya yang membelintang di atas kepala dan kini samurai bersarung itu menghantam lutut Saburo! “Prakkk!!” sarung samurainya mengebrak lutut Obosan itu. Saburo tersurut.
Dia jadi pucat. Sebenarnya kalau si Bungsu mau, maka dia tak perlu menangkis dengan samurai bersarung. Melainkan dengan samurai telanjang. Dan kalu itu sampai dilakukan anak muda itu, maka kini Saburo tidak lagi memeiliki kaki kanan dari lutut ke bawah! Dia jadi ngeri. Namun sekali lagi dia menggebrak maju. Waktu itulah Michiko yang pingsan jadi sadar. Melihat betapa ayahnya menyerang anak muida itu, dia memekik memanggil:
“Ayaaaah. Jangaaaaaannn!!!” dan gadis itu tidak hanya sekedar menjerit, dia langsung berdiri dan lompat ke tengah pertarungan! Saat itu samurai Saburo telah melayang ke arah belikat si Bungsu. samurai si Bungsu menghantam dengan kekuatan penuh. Samurai Saburo terlempar ke udara. Persis seperti terlemparnya samurai di tangan ayah si Bungsu, Datuk Berbangsa di Situjuh Ladang Laweh beberapa tahun yang lalu.
Kini samurai itu meluncur turun. Sebenarnya dengan mudah si Bungsu dapat menyudahi nyawa Saburo. Namun Michiko telah memeluk ayahnya!
Tanpa sadar sedikitpun, samurai yang tadi melambung meluncur turun, persis tentang kedua anak beranak itu. Si Bungsu tertegun. Samurai itu pasti akan menancap di tengkuk Saburo yang memeluk anaknya!
Selintas dia teringat betapa pedihnya hidup tanpa ayah, tanpa ibu dan saudara. Oo, bertahun dia telah hidup demikian. Kini, ada seorang gadis yang telah kematian ibu, seorang anak tunggal, yang akan kematian ayahnya pula. Akan dia tambahkah jumlah kanak-kanak yang yatim piatu? Yang tersikasa oleh kesepian tanpa kasih sayang ayah dan bunda? Pantaskah dia membalaskan penderitaannya pada orang lain?
Pikiran itu demikian cepat menyelinapnya. Dan dengan sebuah gerakan lompat tupai yang sempurna, dia bergulingan di lantai. Dan sejari lagi samurai yang meluncur turun itu akan menancap di tengkuk Saburo, samurai si Bungsu datang menghantamnya. Samurai itu terpukul dan menancap dilantai jauh dari Saburo! Semua pendeta yang tadi sudah meramalkan kematian Obosan mereka, jadi terkesima oleh gerakan yang tak pernah mereka bayangkan akan sanggup dilakukan seorang manusia biasa itu!
Saburo selamat! Saburo menyadari bahwa nyawanya telah diselamatkan lagi. Dia menatap heran pada si Bungsu. si Bungsu menatap pada Saburo tanpa berkedip. Michiko juga menatapnya diantara deraian airmata…
“Lelaki kejam. Lelaki yang berperasaan. Kau bunuhlah aku jika engkau mau membunuh ayahku!!” Michiko berkata diantara tangisnya. Si bungsu terdiam.
Perlahan sekali, dia menyarungkan kembali samurainya. Memandang pada Michiko. Memandang pada Saburo. Memandang keliling. Pada para pendeta kuil Shimogamo itu. Memandang pada mayat-mayat para pendeta. Dan tiba-tiba dia merasakan dirinya sebagai pembunuh.
Membunuh para pendeta di kuil mereka yang suci. Kenapa harus saling bunuh di kuil ini!
“Maafkan saya….” Katanya kepada para pendeta itu. Kemudian dia melangkah meninggalkan ruangan tersebut. Para pendeta yang melingkar berkuak memberi jalan. “Bungsu-san….”suara Michiko terdengar memanggil. Si Bungsu mendengarnya, tapi dia tak menoleh. “Bungsu-saaan…’ suara Michiko terdengar getir. Namun si Bungsu sudah berada di luar. Angin musim dingin menampar-nampar wajahnya.
Dan ketika dia melangkah di altar di depan Doyo dimana para pendeta muda itu tadi berlatih, dia dengar pekikan Michiko. Dia ingin berhenti, tapi buat apa? Dia melangkah di jalan yang terbuat dari batu dalam taman di depan kuil Shimogamo itu. Kemudian ke luar ke jalan raya Shimogamo Hon. Dia melangkah ke mana saja kakinya membawa.
Di jalan raya, dia berbaur dengan tentara Amerika yang berseliweran. Berbaur dengan orang-orang Jepang yang juga berseliweran. Dia tak tahu ke mana kakinya membawa. Dia tak ingin berhenti. Tapi juga tak ingin berjalan. Dia tak ingin berbuat apa-apa. Dia tak ingin, tak ingin…. Apa yang dia ingini kini? Akhirnya dia mendapatkan dirinya terduduk di sebuah kursi kayu yang dingin di sebuah taman yang rasanya belum pernah dia jejak.
Bila pula dia akan menjejak taman di kota ini, padahal baru tiga hari dia di Kyoto ini? Tak ada orang di taman itu. Siapa pula orang yang akan berada di taman dalam musim dingin begini? Dia duduk sendiri.
Duduk menyesali diri. Kenapa Saburo tak dia bunuh? Kenapa dia lepaskan setelah bertahun dia mencarinya. Kenapa dia biarkan jahanam itu hidup padahal ayahnya bersumpah akan membunuh jahanam itu sesaat sebelum dia menghentakkan nafasnya?
Apakah dia menjadi lemah karena Michiko? Apakah nyawa ayah dan ibunya, kehormatan dan nyawa kakaknya, dan kehormatan puluhan gadis serta nyawa puluhan orang kampungnya, penduduk Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sago di Minangkabau sana lebih rendahnya daripada nyawa Saburo? Apakah hanya karena sayang pada Michiko dia biarkan ayah, ibu dan kakak serta orang kampungnya mati tanpa ada yang menuntut bela?
Dia merasa pikirannya jadi buntu. Jadi tak menentu. Sampai suatu saat, di taman itu dia mendengar bunyi tabuh. Suara tabuh mengingatkan dia pada sholat. Tabuh apakah itu? Pastilah gendang upacara agama Shinto. Dan dia teringat bahwa belum sholat. Dia sedang berniat bangkit ketika tiba-tiba dia mendengar suara azan! Suara azan di Kyoto! Mungkinkah itu? Dia tegak tertegun sambil mempertajam pendengaran nya.
“Asyhaduala ila hailallaaaahh….”
Suara azan itu berkumandang dalam suara dingin. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkunya merinding dan matanya basah mendengar azan itu.
Ya, pastilah beduk tadi dari sebuah mesjid atau langgar di sekitar taman ini. Dia coba mencari suara itu. Suara azan di Kyoto. Menyebabkan dia teringat pada kampung halamannya. Suara azan itu seperti suara azan dari mesjid di kampungnya.
Menyelinap diantara dedaun pohon. Menembus udara dingin. Dan kakinya melangkah mencari sumber suara azan itu. Dimanakah dia kini? Seorang tua terlihat berjalan cepat-cepat dengan sandal kayunya yang berbunyi berdetak-detak di jalan yang terbuat dari semen.
“Maaf, numpang tanya…”
“Hai….” Jawab orang tua itu sambil berhenti.
“Dengar suara itu?”
“Anda maksud suara azan itu?” tanya lelaki tua itu. “Ya, suara azan itu…” jawab si Bungsu heran. Heran kenapa orang tua Jepang ini mengetahui kalau suara itu adalah suara azan. “Apakah anda orang Kristen?” tanya orang tua itu. “Tidak, saya orang Islam…”
“Itu dari mesjid kami. Mesjid Okazaki….” Kata orang tua itu sambil mempercepat langkahnya.
Si Bungsu mengikuti langkah orang tua itu. Setelah berbelok ke kiri dua kali, tiba-tiba dia melihat sebuah gedung tua yang ditengahnya ada kubah.
“Mesjid…!” katanya hampir-hampir tak percaya. Orang tua itu telah masuk.
Di kanan mesjid yang tak seberapa besar itu ada sebuah kolam yang airnya mengalir terus. Si Bungsu mengambil wudhuk di sana. Kemudian menaiki tangga mar-mar.
lalu dia berada di pintu sebuah ruangan yang bersih mengkilap.
“Assalamualaikum…” katanya. “Waalaikumussalam…” belasan lelaki yang ada dalam ruangan itu menjawab tanpa menolehkan kepala.
Jam dinding tua yang tergantung menunjukkan angka tiga romawi. Suara detaknya bergema perlahan. Seorang Imam langsung tegak. Dan sembahyang berjemaah itupun mulai.
Si Bungsu tegak di saf kedua. Bacaan ayat Imam tua itu terdengar lancar dan fasih sekali. Si Bungsu seperti sholat ketika di Bukittinggi bersama penduduk Tarok. Yaitu takkala dia hidup di kampung kecil itu bersama Mei-mei. Ketika membaca doa, tiba-tiba dia rasa tenteram dan bahagia menyelimuti hatinya. Dia merasa suatu ketentraman karena tak membunuh Saburo.
Dia yakin, ayah, ibu dan kakaknya yang sudah almarhum juga menyetujui putusannya untuk tidak membunuh Saburo. Bukankah melupakan dendam merupakan suatu pekerjaan mulia? Memang suatu pekerjaan yang alangkah sulitnya buat melupakan segala amarah. Menghapuskan dendam. Tapi bukankah Islam mengajarkan bahwa melupakan dendam itu merupakan bahagian dari keimanan?
Dia sendiri, sudah berapa nyawa yang dia cabut? Benar dia membela diri. Tapi bagaimana kalau anak dari orang-orang yang dia bunuh lalu mencari dirinya dan menuntut balas?
Dia terduduk lama sekali di mesjid kecil disudut taman Okazaki di daerah Higashiyama-ku. Yaitu suatu taman di seberang sungai Takano.
Dia merasa tenteram. Bersambung>>>