SUMBARTIME.COM-Apa sebenarnya yang terjadi dengan kelompok Macmahon yang berjumlah enam orang itu?Ketika pertama kali si Bungsu,Duval,Thi Binh dan Roxy sampai di belakang barak,mereka melihat seregu tentara Vietnam menuju arah datangnya tembakan.
Mereka di pastikan akan melintasi hutan tempat kolonel MacMahon menunggu dengan jebakannya.Si Bungsu mengatakan pada Duval agar menunggu regu yang berangkat itu masuk dulu kedalam jebakan MacMahon.
Kemudian baru mereka menyerang pasukan yang ada di barak.Masuk nya tentara yang memburu itu kedalam jebakan bisa ditandai dari suara tembakan yang pasti sampai ketempat mereka ini.
Menjelang suara tembakan itu terdengar, si Bungsu menyelinap kedalam barak penyimpanan senjata. Mengambil dua buah howitzer,dua buah bren dan peluru secukupnya. Dan begitu suara tembakan terdengar sayup-sayup dari dari arah pertahanan MacMahon,mereka juga memulai serangan terhadap barak tersebut.
Salah seorang dari tentara baret hijau yang di tugaskan oleh Macmahon untuk mengambil posisi paling ujung dari jebakan yang di pasang,memberi isyarat dengan tiruan bunyi burung. Tentara Baret Hijau itu melihat dua orang tentara Vietnam berjalan dengan cepat menuju hutan tersebut, sekitar lima meter dari persembunyiannya.
Sekitar sepuluh meter di belakang kedua tentara itu,yang nampaknya bertindak sebagai pemantau di bahagian depan,terlihat tiga tentara lagi dengan jarak tiga-tiga depa.
Dari cara mereka bergerak,tentara baret hijau itu tahu.Bahwa tentara Vietnam ini sedikitpun tidak tahu kalau buruan mereka ada di depan mereka. Hal itu di sebabkan perhatian mereka tertuju pada suara tembakan yang berasal dari barak, uara yang mereka dengar itu adalah pertempuran dengan pasukan yang duluan menyelamatkan diri,dengan Duc Thio sebagai penunjuk jalan.
Kini tentara yang akan memberikan bantuan itu,masuk kedalam jebakan Macmahon. Anggota Baret Hijau Amerika yang jadi pengintai di bahagian ujung jebakan itu,membiarkan tentara vietnam itu masuk sampai sepuluh depa di depannya.
Dari tempat persembunyiannya dia menatap diam waktu tiga tentar vietnam berikutnya lewat, kemudian lima, kemudian tiga, lalu delapan, terakhir dua orang. Mereka bergerak dengan formasi berpencar. umlah semuanya dua puluh orang. Dua tentara paling depan lewat di dekat persembunyian kolonel MacMahon.
Kolonel ini juga membiarkan mereka lewat satu persatu.Begitu semua tentara vietnam itu berada dalam garis jebakan,kolonel Macmahon menembak tiga orang tentara yang ada dalam jarak bidiknya.
Tiga tembakan beruntun itu sebagai isyarat pembuka serangan.Tiga tentara yang di tembak itu hanya dua yang mati,seorang lagi hanya kena bahunya.Dan tentara yang terluka itu masih sempat mencari tempat perlindungan.
Tembakan dari lima anggota kolonel macmahon itu termasuk Han Doi menghajar kedua puluh orang tentara Vietnam itu. Pertempuran itu boleh dikatakan cukup singkat. Sebab jebakan yang mereka buat memang amat jitu. Kecil peluang bagi yang masukan jebakan untuk selamat
Namun dengan demikian,tentara vietnam itu masih bisa membuat tentara baret hijau yang memberi isyarat tadi mati dengan kepala tertembus peluru.
Dia satu-satunya yang mati di antara kelima anggota macmahon.Tetapi sebelum mati,tentara baret hijau ini juga masih sempat menembak mati tiga orang tentara Vietnam.
Tak berapa lama setelah pertempuran usai,saat mereka menggali lobang untuk menguburkan tentara baret hijau itu, Kolonel Macmahon dan keempat anggota pasukan kecil nya itu mendengar dua suara ledakan beruntun.Ketika mereka menoleh kearah barak tentara Vietnam,jauh di bawah sana,mereka melihat lidah api dan asap menyemburat ke udara.
“Mereka berhasi menghancurkan gudang senjata itu…”ujar Kolonel MacMahon.
Ke empat anggotanya termasuk Han Doi hanya mendengarkan dengan diam,dan menatap asap yang membumbung dari pucuk belantara itu di kejauhan sana.Upacara pemakaman tentara baret hijau itu berlangsung dengan singkat.Tak ada lagi label yang terbuat dari plat almunium tipis,yang menerangkan nama tanggal lahir dan kesatuan si pemakai yang biasanya di kalungkan dengan rantai aluminium di setiap leher tentara yang di terjunkan ke medan perang.
Label itu telah disita tentara Vietnam begitu mereka di tangkap. Mereka, tentara amerika yang tertangkap di beri nomor dan kode khusus. Sebagai tawanan, mereka tak lagi bernama dan berpangkat. Mereka hanya sederatan nomor dan kode, yang bila tak di perlukan lagi dapat di hapus dari daftar.
Hanya para komandan berpangkat kolonel keatas yang berada di wilayah tempat mereka di tawan,yang menyimpan daftar nama,pangkat,kesatuan dan tanggal lahir tawanan.
Namun tentara Amerika tidak ada yang mengetahui hal tersebut. Kalau saja mereka tahu, bahwa daftar nama mereka disimpan oleh seorang komandan berpangkat kolonel, MacMahon pasti menugaskan pasukannya untuk mencari daftar itu di barak di bawah sana.
Sebab mereka tahu, komandan barak yang menawan mereka berpangkat kolonel. Hanya mereka tak tahu, si kolonel sudah jadi serpihan daging tak berbentuk, dihantam roket howitzer yang ditembakkan Thi Binh, yang lidah api dan asapnya baru saja mereka lihat membubung ke udara di kejauhan.
Ketika lobang kuburan usai ditimbun, dua potong kayu sebesar lengan kemudian diikat membentuk salib, ditancapkan di bahagian kepala. Tak ada pembacaan doa.
Si Kolonel dan anggotanya membuat tanda salib dengan gerakan tangan pada tubuh mereka sebagaimana jamaknya dilakukan orang-orang Katolik. Sekali lagi si Kolonel memandang ke arah asap yang membubung di bawah sana. Mereka mendengar suara tembakan sayup-sayup. Mereka tahu, di sana sedang terjadi pertempuran.
“Kita berangkat menyusul rombongan pertama tadi…” ujar si kolonel sambil menatap pada Han Doi.
“Apakah kita tidak menunggu mereka yang di bawah sana?” tanya Han Doi.
“Kita tinggalkan pesan melalui tanda-tanda di pohon…” jawab si kolonel.
Han Doi masih tegak dengan ragu.
“Sudah berapa lama Anda mengenal lelaki dari Indonesia itu?” tanya MacMahon pada Han Doi.
“Baru sekitar satu bulan….”
“Apakah engkau yakin dia akan mampu memenangkan pertempuran di bawah sana?”
Han Doi tak segera bisa menjawab. Karenanya MacMahon melanjutkan.
“Saya baru mengenal tadi malam, saat dia muncul di goa tempat kami disekap. Kendati baru mengenalnya satu hari satu malam, namun saya yakin, lelaki tangguh itu akan memenangkan pertempuran di bawah sana. Dan dia akan membawa Letnan Duval dan kedua gadis itu menyusul kita…”
Han Doi menarik nafas. Dia juga yakin bahwa si Bungsu akan mampu memenangkan pertempuran itu. Mereka kemudian mengganti persenjataan dengan senjata otomatis milik dua puluh tentara Vietnam yang mati malang melintang di sekitar mereka. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu.
Pada tempat-tempat tertentu, anggota SEAL yang ada di rombongan MacMahon membuat tanda-tanda khusus. Mereka menelusuri jalan yang tadi ditempuh rombongan Duc Thio. Yaitu rombongan pertama yang berjumlah 11 orang, empat di antaranya wanita, termasuk Helena. Anggota pasukan logistik yang sudah lama sakit di dalam tempat penyekapannya di goa sana.
Thi Binh, Roxy dan Duval yang sedang menerobos belantara, setelah keluar dari sungai dangkal yang mereka mudiki sekitar seperempat jam, tiba-tiba pada terhenti. Mereka tegak mematung dengan perasaan tegang, terutama Thi Binh dan Roxy. Langkah mereka mendadak sontak terhenti karena mendengar dua ledakan dahsyat beruntun, disusul suara menggelar di bumi.
“Ledakan apa itu, granat?” desis Thi Binh dengan air mata mulai mengalir di pipinya.
Dia membayangkan tubuh si Bungsu hancur berkeping karena ledakan granat yang dilemparkan tentara Vietnam ke tempat pertahanan si Bungsu.
“Tidak. Itu ledakan peluru howitzer…” ujar Duval.
“Siapa yang menembak, siapa yang tertembak?” suara Thi Binh kembali mendesis dan menggigil.
“Si Bungsu yang menembak….”
“Tidak, tidak mungkin….”
“Dalam operasi di hutan, tentara tidak membawa peluncur roket, Nona….”
Duval yang faham benar seluk-beluk peperangan mencoba menjelaskan kepada Thi Binh. Penjelasannya bukan sekedar bujukan. Dia tahu benar, tentara Vietnam yang memburu mereka takkan membawa-bawa howitzer. Tank mana pula yang harus dihancurkan dengan howitzer di dalam belantara lebat ini? Thi Binh menatap letnan dan pasukan SEAL Amerika itu.
“Anda boleh yakin kepada penjelasan saya, Nona. Saya sudah terjun ke kancah peperangan selama lima belas tahun. Anda juga boleh yakin kepada saya, bahwa orang Indonesia itu terlalu tangguh untuk dikalahkan tentara Vietnam yang mengepung kita tadi…” tutur Duval.
Hati Thi Binh sedikit terhibur. Dia menatap pada Roxy. Roxy mendekat dan memeluk bahunya. Thi Binh balas memeluk perawat Amerika tersebut.
“Engkau sengaja bersembunyi, kemudian menemuinya sendirian, ketika kita mulai berangkat tadi, bukankah begitu, Kak?” bisik Thi Binh saat berada dalam pelukan Roxy.
Dug!Jantung Roxy rasa mau copot mendengar pertanyaan yang amat tiba-tiba dan sangat tepat itu. Dia tak segera bisa memberikan jawaban. Dia sungguh tak tega melukai hati Thi Binh. Namun dia juga tak ingin berbohong.
“Engkau juga mencintainya, bukan?” kembali Thi Binh berbisik perlahan.
Dug lagi!
Jantung Roxy kembali hampir copot oleh pertanyaan yang amat langsung, amat terus terang dan amat tepat itu. Ibarat bermain catur, dia benar-benar mati langkah akibat pertanyaan-pertayaan yang dilontarkan Thi Binh. Thi Binh melepaskan pelukannya, kemudian menatap pada Roxy. Perawat Amerika itu tak bisa menjawab, bahkan hampir saja dia tak berani membalas tatapan mata Thi Binh.
“Dia memang lelaki yang pantas dicintai siapa saja…” ujar Thi Binh perlahan.
Suaranya demikian jernih, demikian datar dan demikian bersahabat. Tak ada nada menyindir sedikit pun. Tiba-tiba saja Roxy merasa demikian kecil di hadapan gadis kecil ini. Dia raih kembali gadis itu ke dalam pelukannya.
“Ya, aku bersembunyi ketika engkau lewat. Kemudian menemuinya sendirian. Aku khawatir tak lagi akan bertemu dengannya. Aku… aku memang mencintainya. Maafkan aku, Adikku…” bisik Roxy terbata.
Sesaat Thi Binh mempererat pelukannya pada tubuh Roxy. Kemudian melepaskannya perlahan. Kemudian menatapnya tepat-tepat. Kemudian bibirnya mengukir senyum.
“Engkau menciumnya?”
Lagi-lagi, dug!
Pertanyaan yang di ajukan dengan lembut dan dengan bibir tersenyum itu justru membuat Roxy kepanasan dan salah tingkah.Namun senyum gadis itu demikian lugu.Roxy akhirnya terpaksa mengangguk.
“Curang,kenapa tidak mengajakku?”ujar Thi Binh sambil mencubit pipi Roxy.
Roxy gelagapan.Thi Binh tertawa kecil.akhirnya roxy tersenyum lalu ikut tertawa renyah.Mereka lupa bahwa mereka sedang di buru.Bahwa nyawa mereka di tentukan oleh secepat apa mereka bisa bergerak menyusul kolonel MacMahon.
“Kalau perundingan kalian sudah selesai,kita harus bergerak cepat menyusul MacMahon…”ujar Duval yang Sejak tadi terpaksa memasang telinga dan mata,menjaga kedua gadis itu,sekaligus berwaspada terhadap kemungkinan munculnya secara tiba-tiba pasukan Vietnam.
Roxy dan Thi Binh yang tersadar bahwa mereka sedang dalam upaya menyelamatkan diri.Mereka sama-sama tersenyum dan segera mengikuti Duval yang mulai bergerak cepat menerobos belantara.Saat mereka mulai bergerak menuju tempat MacMahon,kolonel yang mereka tuju itu sudah bergerak pula meninggalkan tempatnya.
Dan ketika Duval,Thi Binh dan Roxy sampai ketempat MacMahon memasang jebakan,mereka bertiga tertegak diam.
Yang mereka temukan hanyalah belasan mayat tentara Vietnam,terserak di berbagai tempat di areal yang tak begitu luas.
“Mereka tertangkap atau meloloskan diri?”desis Roxy.
Tak ada yang menjawab.Duval berusaha meneliti dan mencari sesuatu di beberapa tempat.Dia yakin,MacMahon pasti meninggalkan isyarat buatnya.Isyarat itu segera dia temukan dalam waktu yang cukup singkat.
Dari sebuah batu dan ranting yang patah,yang hanya tentara Amerika yang mengenal isyarat itu,dia tahu Macmahon selamat.Dia bersama rombongannya sudah meninggalkan tempat itu.Dan dari isyarat itu Duval tahu kemana arah MacMahon dan rombongan bergerak.
Namun baik Duval maupun Roxy dan Thi Binh tak tahu,bahwa salah seorang tentara Baret Hijau yang berada dalam rombongan MacMahon mati tertembak.Mereka tak melihat kuburan tentara baret hijau itu,yang letaknya memang terlindung dari tempat mereka berada oleh sebuah batu besar.Duval bergegas membawa Roxy dan Thi Binh menyusul rombongan MacMahon.
“Apakah kita tak menunggu Bungsu?”tanya Thi Binh.
Roxy juga sepakat dengan Thi Binh,sebaiknya mereka menunggu si Bungsu lebih dulu.Namun Duval berpendapat lain.
“Saya baru mengenal lelaki itu baru sehari ini.Namun saya yakin,dia mengenal belantara seperti mengenal halaman rumahnya sendiri.Dia bisa bergerak cepat sekali.
Kalau kita menunggu disini, geraknya akan menjadi lambat. Karena gerakan kita tidak secepat dia. Jika kita bergerak lebih dulu,dia bisa bergerak cepat,dan segera pula bisa menyusul kita.Membantu diri kita agar bisa jauh dari tentara yang mengejar adalah juga membantu si Bungsu…”tutur Duval
Kedua gadis itu tak membantah. Mereka memahami dan menerima kebenaran yang diucapkan Duval. Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat dipakai sebagai jebakan oleh Kolonel MacMahon. Duval di depan, matanya tajam menatap tanda-tanda yang ditinggalkan MacMahon. Sebentar dia menunduk, melihat bekas jejak kaki di tanah.
Pada saat lain dia menatap dedaunan yang secara sepintas kelihatan biasa-biasa saja. Namun mata Duval yang terlatih dapat mengetahui daun yang sudah bergeser dengan tubuh manusia dengan daun yang belum tersentuh apapun.
Akan halnya si Bungsu, yang berusaha meloloskan diri setelah menembakkan dua roket dari howitzer, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia mendekapkan telinga ke tanah. Dia tak tahu secara persis berapa tentara yang memburunya.
Namun dari inderanya yang sangat terlatih dia memperkirakan jumlah tentara yang mengejarnya paling tidak ada belasan orang. Dia menghitung sisa peluru bren yang dia bawa masih ada sekitar 20 buah. Dia sadar, tak mungkin dia menuju ke tempat MacMahon dan rombongan yang lain.
Kalau dia langsung menuju ke arah orang-orang tersebut sama artinya dengan membawa tentara Vietnam ini ke tempat mereka. Dia harus berusaha menjauhkan para pemburu ini dari rombongan MacMahon. Dengan fikiran demikian, dia berbalik arah. Tadinya, dengan kemahiran yang jarang dimiliki tentara manapun, dia nyaris tak meninggalkan jejak di tanah. Hal itu menyebabkan tentara Vietnam kebingungan menentukan arah, kemana harus dikejar.
Namun, jika jejak si Bungsu tak berhasil mereka temukan, mereka justru dengan mudah menemukan jejak Duval, Roxy dan Thi Binh. Pemimpin pasukan Vietnam itu segera diberitahu anak buahnya yang ahli melacak jejak. Bahwa dari empat orang yang tadi menembaki mereka, kini hanya ada tiga jejak.
Si komandan berhenti sejenak, demikian juga semua anak buahnya. Dia menatap bekas jejak kaki di tanah. Melemparkan pandangan ke depan. Kemudian menatap pencari jejak tersebut tepat-tepat.
“Sejak di mana engkau ketahui bahwa jejak yang kita buru ini hanya jejak tiga orang?” tanyanya menyelidik.
“Sejak naik dari sungai tadi….”
Si Komandan kembali menatap ke arah tempat mereka mengepung tentara Amerika itu tadi, yang sudah jauh mereka tinggalkan. Dia mencoba mengingat tembakan-tembakan yang menghujani mereka sebelum dan setelah dua peluru howitzer menghantam dan meruntuhkan batu besar itu. Dia lalu duduk, menatap jejak di tanah. Tiba-tiba dia menyumpah. Dia baru sadar sekarang, bahwa tadi sesungguhnya mereka ditipu.
“Mereka hanya empat orang. Tiga orang terlebih dahulu menyelamatkan diri. Yang seorang….”
Si komandan menghentikan ucapannya. Dia melangkah dua depa ke kanan, menatap jejak yang tertinggal di sana. Kemudian menatap ke depan, lalu melangkah lagi. Menatap lagi jejak di sana. Ada beberapa saat dia membandingkan jejak-jejak yang membekas di tanah dalam jarak beberapa depa itu.
“Yang tiga ini, satu lelaki dan dua wanita. Merekalah yang disuruh duluan lari menyelamatkan diri. Yang seorang lagi, tetap bertahan dan menembaki kita dengan tiga bedil yang ditinggalkan. Setelah itu, baru yang seorang itu menembakkan howitzer yang dicuri dari gudang senjata kita. Sesaat setelah menembakkan howitzer, dia melarikan diri….” si komandan berhenti sejenak. Bersambung…