BUKITTINGGI – Coba buka Google hari ini. Laman pencarian paling populer di dunia itu menampilkan sosok perempuan berjas putih, stetoskop melingkar di leher, menatap jauh dengan mata penuh tekad.
Ia bukan selebritas, bukan pula tokoh fiksi. Ia adalah Dr. Marie Thomas dokter perempuan pertama Indonesia, pelopor, penggerak, dan inspirasi lintas zaman.
Lahir di Likupang, Minahasa, 17 Februari 1896, Marie menembus sekat gender di masa ketika ruang pendidikan tinggi masih dikunci rapat bagi kaum perempuan. Ia diterima di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Batavia, sekolah kedokteran bergengsi yang kala itu “hanya untuk lelaki”.
Sepuluh tahun perjuangan dan pada 1922, sejarah mencatat, Indonesia resmi memiliki dokter perempuan pertamanya.
Namun kisah Marie tak berhenti di meja praktik atau ruang kuliah. Ia menjelajah lebih jauh, mendalami kebidanan dan ginekologi, hingga dikenal sebagai pelopor penggunaan metode kontrasepsi IUD di Tanah Air. Tapi yang paling abadi, justru jejaknya di Bukittinggi.
Sekolah Bidan Pertama di Sumatera
Tahun 1950, Marie mendirikan Sekolah Kebidanan pertama di Sumatera, yang juga menjadi yang kedua di Indonesia. Dari ruang belajar sederhana itu, lahirlah generasi bidan-bidan tangguh yang menyelamatkan ribuan nyawa ibu dan anak di ranah Minang.
Kini, di lokasi bersejarah itu berdiri gedung perbankan. Namun, kisah di balik tanahnya masih hidup dalam ingatan.
“Dulu almarhumah dimakamkan di sini, sebelum dipindahkan ke Bukit Apit pada 1980-an,” ujar Henri Suhairi (Jiji), Pimpinan Cabang Bank Nagari Bukittinggi, Sabtu (11/10/2025).
“Bagi kami, kebanggaan tersendiri karena Bukittinggi menyimpan jejak sejarah perempuan hebat bangsa. Nagari Kurai ini punya banyak cerita besar dan salah satunya adalah Marie Thomas.”
Kenangan dari Cucu Dr. M. Djamil
Cerita itu tak berhenti di papan nama dan prasasti. Dr. Alan Gazali Gaus, cucu dari Dr. M. Djamil (nama besar yang kini diabadikan menjadi RS Dr. M. Djamil Padang), mengingat betul sosok Marie.
“Saya masih kecil, sekitar 8 tahun, sering bertemu beliau. Marie Thomas bersahabat dekat dengan kakek saya dan suaminya, Dr. Mohammad Yusuf,” kenang Dr. Alan.
Ia bahkan masih ingat diajak sang kakek ke kampung halaman Dr. Yusuf di Bonjol, Pasaman, tak jauh dari tugu Katulistiwa.
“Tentang makamnya, benar dulu berada di klinik tempat beliau dan Dr. Yusuf bekerja serta mendidik calon-calon bidan. Semua itu bagian dari sejarah medis di Bukittinggi,” ujarnya yang pernah menjabat Wakil Direktur RSAM Bukittinggi.
Cinta, Ilmu, dan Abadi di Ingatan
Marie Thomas juga menyimpan kisah cinta yang tak kalah romantis. Di STOVIA, ia bertemu sesama mahasiswa kedokteran asal Bonjol, Dr. Mohammad Yusuf. Mereka menikah, berpindah ke Sumatera Barat, dan membesarkan dua anak, Sonya dan Eri.
Namun, pada 1966, Marie berpulang akibat pendarahan otak mendadak di usia 70 tahun.
“Meski jasadnya telah tiada, semangatnya tidak pernah padam,” tutur Zulhamdi Nova Candra (Candra Zoebir), Wakil Ketua DPRD Bukittinggi, yang juga tokoh masyarakat Nagari Kurai.
“Nama Marie Thomas abadi. Buktinya ada di Museum Kebangkitan Nasional. Tapi yang lebih penting, warisan intelektual dan keberaniannya tetap hidup di hati masyarakat.”
Google Mengingatkan Dunia
Hari ini, lewat Google Doodle, dunia kembali menundukkan hormat pada perempuan Minahasa yang meninggalkan cahaya di Bukittinggi.
Ia bukan sekadar dokter. Ia adalah simbol bahwa pengetahuan, cinta kemanusiaan, dan keberanian bisa menembus dinding apa pun, bahkan waktu.
Marie Thomas telah pergi. Tapi suaranya, perjuangannya, dan semangatnya masih bergema,
“Perempuan pun berhak menulis sejarah.”
(Penulis: Alex.jr)