Bukittinggi, yang terletak di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia dikenal sebagai kota dengan berbagai keunikan budaya dan sejarah yang menarik. Salah satu ikon utama kota ini adalah Jam Gadang, menara jam setinggi 26 meter yang menjadi simbol kebanggaan masyarakat Bukittinggi.
Jam ini terkenal bukan hanya karena ukurannya yang besar, tetapi juga karena keunikannya dalam penulisan angka Romawi pada angka empat yang ditulis “IIII” bukan “IV”, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.
Jam Gadang, yang selesai dibangun pada tahun 1926, dirancang oleh arsitek Yazid Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh, seorang putra Minangkabau. Berada di pusat kota, menara jam ini dibangun dengan dana sebesar 3.000 Gulden, sebagai hadiah dari Ratu Wilhelmina untuk H. R. Rookmakeer, sekretaris Kota Bukittinggi pada saat itu. Jam Gadang tak hanya menjadi destinasi wisata, namun juga bagian dari sejarah panjang kota ini.
Sejarah Lainnya
Tak jauh dari Jam Gadang, tepatnya di kawasan Pasar Leleng, terdapat Janjang Gantuang, jembatan penyebrangan pertama di Indonesia yang menghubungkan Pasar Atas dengan Pasar Bawah.
Janjang Gantuang menjadi saksi bisu perkembangan kota Bukittinggi yang pesat sejak zaman kolonial. Jembatan ini, yang menghadap ke timur, merupakan bagian dari upaya pemerintah Hindia Belanda untuk menata pasar-pasar yang ada di Bukittinggi pada masa itu.
Selain Janjang Gantuang, ada pula Janjang 40 atau yang lebih dikenal dengan nama Janjang Ampek Puluah, sebuah jenjang anak tangga yang menghubungkan Pasar Atas, Pasar Bawah, dan Pasar Banto.
Janjang ini dibangun pada tahun 1908 pada masa pemerintahan Louis Constant Westenenk, Asisten Residen Agam.
Menurut Fery Chofa,.SH,.LL.M Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Bukittinggi, penamaan Janjang 40 berasal dari kesepakatan 40 penghulu di Luhak Agam yang ingin mempermudah akses masyarakat menuju pasar-pasar Bukittinggi.
Meskipun Janjang 40 memiliki lebih dari 40 anak tangga, angka 40 merujuk pada jumlah anak tangga di bagian teratas, yang lebih kecil dan curam. Total anak tangga dari trotoar Jalan Pemuda hingga puncak Janjang 40 mencapai 100 anak tangga.
Janjang ini juga menjadi inspirasi bagi pencipta lagu Minang, Syahrul Tarun Yusuf, dalam menciptakan lagu “Andam Oi”, yang menggambarkan keindahan dan keunikan Janjang 40.
Bukittinggi, yang pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, memiliki peran penting dalam sejarah bangsa.
Kota ini juga pernah menjadi ibu kota Provinsi Sumatra dan Provinsi Sumatra Tengah. Pada masa kolonial Belanda, Bukittinggi dikenal dengan nama Fort de Kock dan mendapat julukan “Parijs van Sumatra” karena keindahan alamnya yang memukau.
“Sebagai kota perjuangan bangsa, Bukittinggi menjadi tempat kelahiran beberapa tokoh penting dalam sejarah Indonesia, di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Assaat, yang keduanya merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia,” ujar Feri Chofa, sabtu (1/2/2025) di Bukittinggi.
Dengan segala keindahan alam, sejarah, dan budaya yang dimilikinya, Bukittinggi tetap menjadi tujuan wisata yang tak terlupakan, serta menjadi saksi sejarah yang terus hidup di hati masyarakat Indonesia. (diolah)
Artikel ini ditulis oleh: Alex Armanca.Jr wartawan muda Bukittinggi.