BUKITTINGGI – Senin, 29 September 2025. Balairung Sidang DPRD Kota Bukittinggi menjadi saksi perjalanan panjang sebuah proses politik anggaran. Paripurna dengan agenda Penandatanganan Nota Persetujuan Bersama Ranperda tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025 sekaligus mendengarkan pendapat akhir Wali Kota atas rancangan perubahan, berlangsung khidmat namun sarat makna.
Hadir lengkap para anggota dewan, jajaran pemerintah daerah, serta Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang sejak awal turut menjadi motor pembahasan.
Dari podium utama, laporan Badan Anggaran (Banggar) DPRD mengawali jalannya paripurna, membentangkan alasan kenapa anggaran harus diubah, disesuaikan, bahkan digeser dari asumsi semula.
“Perubahan APBD dilakukan dalam beberapa keadaan, meliputi perkembangan yang tidak sesuai dengan KUA,” tegas juru bicara Banggar.
Ia merinci kondisi yang menuntut penyesuaian: mulai dari pergeseran antar-unit organisasi, pemanfaatan SILPA tahun sebelumnya, hingga keadaan darurat atau luar biasa yang memaksa keuangan daerah mencari napas baru.
Tahapan Panjang Menuju P-APBD
Wali Kota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias, dalam pidatonya menegaskan bahwa proses perubahan APBD bukan sekadar formalitas angka di atas kertas, melainkan perjalanan panjang dengan prosedur jelas.
- 4 September 2025: Wali Kota menyerahkan Hantaran Ranperda Perubahan APBD 2025.
- 8 September 2025: Fraksi-fraksi DPRD menyampaikan pemandangan umum.
- 9 September 2025: Jawaban Wali Kota atas pandangan fraksi dikemukakan.
“Perubahan APBD dilakukan karena terjadi kondisi tertentu yang menyebabkan asumsi awal dalam APBD tidak sesuai lagi dengan perkembangan pelaksanaan anggaran dan kebutuhan daerah,” ujar Ramlan.
Kondisi itu, lanjutnya, setidaknya meliputi tiga hal:
- Perkembangan yang tidak sesuai asumsi KUA.
- Pergeseran anggaran yang harus dilakukan antar-program maupun unit.
- Pemanfaatan SILPA untuk kebutuhan tahun berjalan.
Dialog Fiskal: Antara Banggar dan TAPD. Proses pembahasan yang panjang melibatkan Banggar DPRD sebagai representasi politik rakyat, dan TAPD sebagai pengelola fiskal.
Di ruang-ruang rapat, keduanya berhadapan bukan untuk beradu ego, melainkan meramu prioritas. Banggar memastikan aspirasi masyarakat tetap terjaga, sementara TAPD menimbang rasionalitas fiskal agar setiap rupiah benar-benar bekerja.
“Dinamika yang muncul dalam pembahasan bukanlah pertentangan, melainkan dialektika sehat. Di sanalah argumentasi diuji, prioritas ditimbang, dan kepentingan rakyat diletakkan sebagai titik temu,” ujar Ramlan penuh penekanan.
Akhirnya: Satu Suara, Satu Kesepakatan
Puncak paripurna adalah ketika seluruh fraksi DPRD menyampaikan pendapat akhirnya. Hasilnya, seluruh fraksi menyetujui Ranperda Perubahan APBD 2025 menjadi Perda Kota Bukittinggi.
Fraksi Demokrat bahkan menambahkan usulan agar Perubahan APBD segera dituangkan ke dalam lembaran perda kota, demi kepastian hukum dan kecepatan pelaksanaan program.
Persetujuan ini sekaligus menjadi penegasan bahwa APBD bukanlah dokumen kaku, melainkan instrumen hidup yang harus responsif terhadap dinamika.
Catatan Akhir: Menjaga Ritme Pembangunan. Paripurna hari itu mengajarkan satu hal: anggaran adalah denyut nadi pembangunan. Ia harus lentur menghadapi perubahan, namun tetap tegas menjaga arah.
Banggar DPRD dan TAPD telah memainkan perannya, sementara Wali Kota memberi arahan politik anggaran agar tak keluar jalur dari kepentingan rakyat.
Dan Bukittinggi, lewat paripurna 29 September 2025 ini, kembali membuktikan bahwa setiap rupiah yang dikelola bukan hanya soal angka, tetapi soal keberanian menyesuaikan langkah demi menjaga irama pembangunan kota. (Aa)