BUKITTIGGI – Penulis menghadapi tantangan dalam menemukan kebaruan dalam studi ilmu politik, khususnya mengenai patronase dan budaya, serta kurangnya literatur mengenai nalar elite di Kota Bukittinggi.
Untuk memahami dinamika nalar elite lokal, penulis menelusuri budaya Kurai, etnis berpengaruh di Bukittinggi, guna mengungkap transformasi nilai-nilai budaya ke ranah politik.
Salah satu tradisi penting dalam budaya Kurai adalah pemberian gelar adat (gelar Datuk) kepada tokoh masyarakat, politik, dan agama. Pemberian gelar adat ini dianggap sebagai investasi politik yang nantinya memiliki imbal balik, terutama bagi kepentingan elite di Kurai.
Imbal balik ini sulit dihindarkan karena dalam proses penerimaan gelar adat, penerima disumpah untuk setia dan mendukung eksistensi anak keponakan atau masyarakat Kurai.
Dengan status sebagai tokoh adat, penerima gelar memiliki modal lebih untuk memengaruhi dan mengikat relasi dengan tokoh adat, agama, dan masyarakat yang masih loyal kepada Kurai.
Di sisi lain, sebagai tokoh adat, ia diharapkan banyak memberi kepada masyarakat, karena kharisma ketokohan ditentukan oleh besar kecilnya pemberian, baik dalam bentuk perhatian, barang, maupun jasa. Semakin besar pemberian, semakin kuat ikatan patronase yang terjalin dalam masyarakat.
Nalar pemberian-penerimaan sebagai kharisma ini dimaknai penulis sebagai bentuk politik kontekstualisasi, yang disebutnya sebagai nalar politisi. Namun, menggunakan nalar politisi kontekstual saja tidak cukup bagi elite untuk memenangkan kontestasi dalam Pilkada.
Elite juga dihadapkan pada regulasi dalam kontestasi, sehingga mereka perlu mencitrakan diri sebagai figur yang demokratis, taat hukum, anti korupsi, tidak melanggar HAM, dan mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, mereka juga harus menginstrumentasi nalar demokratis/aktivis agar diterima oleh masyarakat perkotaan. Elite berada dalam dua domain yang simultan, sehingga mereka sering menginstrumentasi kedua nalar ini baik secara terpisah maupun simultan.
Pada tulisan sebelumnya, yang terbit 16 Juli lalu, dengan judul “Perubahan Signifikan dalam Politik Bukittinggi Menguat dengan Kemunculan Nama Heldo Aura,” berbagai sudut pandang muncul di tengah masyarakat Kota Bukittinggi.
Salah satu elemen menarik yang baru adalah kemunculan nama Heldo Aura Dt. Sampono Rajo di panggung politik lokal.
Heldo Aura, yang dikenal sebagai tokoh masyarakat Kurai yang ramah dan berpengalaman, tiba-tiba mencuat dalam diskusi publik setelah tersebarnya baliho-baliho (gambar) yang memperkenalkan tentang dirinya.
Meskipun belum jelas dari partai mana Heldo akan bersaing, namanya kini masuk dalam daftar calon wakil wali kota Bukittinggi. Meskipun peluangnya untuk mencalonkan diri sebagai wali kota tampak sulit mengingat statusnya yang bukan berasal dari partai politik, kehadiran Heldo memberikan warna baru dalam kompetisi Pilkada 2024.
Dengan pengalaman di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bukittinggi selama dua periode dan latar belakang pendidikan yang kuat di bidang politik dan fisika, Heldo dianggap memiliki kualifikasi yang memadai untuk peran politik di kota ini.
Kesimpulannya, dinamika politik Bukittinggi sangat dinamis dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Tulisan ini menawarkan cara pandang baru tentang patronase dalam konteks Bukittinggi.
Sudah dulu ya, nanti kita lanjut lagi analisanya. Artinya saya menulis ini butuh waktu untuk istirahat. Waktu yang cukup lama untuk menulis sebuah analisa yang sudah ada di kepala. Artinya apa? Maknai sendiri. Intinya jangan sampai kartu kamu mati.
Selasa, 23 juli 2024
(Alex.jr)